20: Aku yang Terbangun dari Mimpiku

420 39 65
                                    

Kembali ke Kota Nirkhayal tak pernah seberat ini rasanya. Aku sudah pernah bilang kalau pekerjaanku termasuk hal yang sangat kucintai, bukan? Akan tetapi, secinta-cintanya aku dengan pekerjaanku, aku lebih sayang kedua orang tuaku.

Ketika Mama dibilang bisa pulang, beliau memang sudah mulai berlatih untuk melakukan aktivitas selain berbaring. Duduk, turun dari kasur, berjalan tanpa pegangan. Akan tetapi, banyak sekali obat yang harus Mama minum, dan Papa tidak bisa menemani sepanjang waktu.

“Ini Azlin serius disuruh balik aja?” Sekali lagi, aku memastikan. Parnonya masih ada banget, jujur. Bagaimana kalau kesialan beruntun yang kulihat dalam mimpi terjadi setelah aku angkat kaki? Akan tetapi, semalam aku mimpi kembali ke Masatoki dan diserahi amplop oleh Mbak Sella. Aku keburu bangun sebelum sempat mengintip isinya, tapi sepertinya itu pertanda akan ada sesuatu di kantor saat aku kembali. Aku memang harus kembali.

“Mau Papa tendang keluar rumah biar kamu balik?” Papa berseloroh sembari menyiapkan obat pagi Mama. “Atau kamu sengaja mau lama-lama biar bisa bolos kerja?”

“Ya enggak, lah!”

“Nah, ya sudah, kembalilah ke Masatoki. Mama sehat kok.” Papa menepuk bahu sang istri. “Ya kan, Ma?”

Mama mengangguk pelan. Beliau mencoba bangkit dari duduk dan meraih puncak kepalaku. Aku buru-buru menunduk agar Mama lebih mudah mengusap rambut merah di sana.

Suara Mama sudah tidak separau di rumah sakit, walau masih terbata. Seperti ada yang mengganjal lidah beliau sehingga pelafalannya tidak sempurna. Meski begitu, aku masih bisa menangkap apa yang Mama sampaikan.

“Kejar cita-citamu, Nak. Doakan Mama dan Papa dari sana, ya.”

Sekali lagi, aku menatap Mama lekat-lekat. Mama tidak mati sekarang dan Mama sudah membaik. Boleh kan aku percaya kali ini kalau mimpiku tidak terwujud? Mimpiku salah untuk pertama kalinya dan aku bersyukur akan hal itu.

Kekuatan apa yang bisa membuat mimpiku kalah? Takdir, kah? Atau doa?

Sepanjang malam, aku dan Papa hanya bergantian jaga di empat malam pertama, karena aku nyaris tak pernah tidur saking ketakutannya dengan mimpi pemakaman dan sesak napas begitu terlelap. Setelah itu, Papa memaksaku tidur di rumah sakit. Aku di kasur, Papa di lantai beralas kain tebal.

“Biar kamu enggak sakit,” ujar beliau.

Aku tetap tidak bisa tidur saat itu, tapi aku tidak ingin kekhawatiran Papa berlipat ganda. Jadi, saat aku berusaha terjaga, aku meringkuk di balik selimut dan mengintip seisi ruang.

Ternyata, Papa juga tidak tidur semalaman. Papa terus komat-kamit dan menengadahkan tangan. Ritual berdoa. Masyarakat di negara kami jarang berdoa karena sudah banyak keajaiban yang Tuhan berikan tanpa perlu memohon, tapi Papa begitu khusyuk.

Apakah doa yang terpanjatkan setiap malam itu kuncinya?

“Enggak ada yang ketinggalan?” Suara bariton Papa mengembalikanku dari lamunan. Aku mengangguk pelan. Hatiku berat. Bukan karena khawatir, tapi ternyata belum beranjak pun rinduku pada Mama dan Papa sudah membuncah lebih dulu.

Mama perlahan merentangkan tangan, menarikku dalam pelukan. Biasanya Mama bersenandung, tapi sekarang Mama bergeming. Tidak apa-apa. Sensasi tenang dari telepon dan bertemu langsung jelas berbeda. Aku mendekap Mama lebih lama, berusaha meraup rasa nyaman itu sebanyak-banyaknya sebelum kembali pada kerasnya Kota Nirkhayal.

*

Aku suka pekerjaanku. Aku suka pergi ke kantor. Hanya saja, pagi ini langkahku gontai. Kantor terasa seperti momok dan aku tidak ingin menemuinya.

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang