Dua tahun berteman dengan Runa sudah cukup untuk membuatku kenal dengan keluarganya. Kedua orang tuanya masih ada, memang. Akan tetapi, keduanya sakit dan butuh perawatan intensif. Ada adiknya yang bisa gantian berjaga di rumah, untungnya. Tetap saja, itu tidak mengubah fakta bahwa Runalah satu-satunya yang bisa diharapkan untuk mencari nafkah.
Kalau ditanya, aku paham kenapa Runa marah padaku. Okelah, Runa tidak percaya pada mimpiku dan aku membuatnya kesal. Yang sulit kumengerti adalah kenapa Runa menolak bantuanku, padahal jelas-jelas ia sedang membutuhkannya. Lagipula, aku tidak bermaksud menutup pintu rezekinya. Justru, kalau dia betulan kecelakaan dan berimbas pada keluarganya, aku yang akan maju paling depan. Akan kuajukan diriku menjadi samsak sukarela karena tidak melakukan apapun untuk mencegah.
Aku sayang Runa. Benar-benar sayang.
Runa masih tidak mau membalas sapaanku hari ini. Ia hanya merespons ketika ditanya tentang kerjaan—yang sayangnya, sedang banyak yang tidak beririsan. Di luar itu, dia menghindar. Dan itu menyakitkan.
Apa yang bisa kulakukan untuk menebusnya? Dibantu pun ia tak mau!
Entah sampai kapan anak itu mendiamkanku. Permintaan maafku tak digubris, dan aku kehabisan ide pendekatan yang membuat hati Runa luluh.
“Kak Azlin ini enggak ada peka-pekanya atau memang kurang common sense, dah?”
Nara, yang kuseret paksa untuk jadi tempat curhat dengan sogokan segelas kopi cold brew (aku tahu favoritnya!) kuharap bisa membantu, tapi aku tidak mengajaknya untuk ikutan menyalahkanku. Aku bersungut-sungut. “Justru karena peka dan khawatir, aku mencegah Runa dari bahaya!”
“Kak. Enggak semua yang ada di mimpi Kak Azlin bakal kejadian.” Nara menghela napas. “Gue kalau jadi Kak Runa juga bakal dongkol banget kalau dicegah buat kerja pas lagi butuh-butuhnya. Alasannya enggak make sense, pula.”
Mata bolaku mendelik. Tidak semua yang sulit diindera itu tak masuk akal, kan? “Kamu tidak tahu kalau warga Kota Ilusi punya kekuatan meramal lewat mimpi?”
“Tahu. Tapi, enggak semuanya kejadian persis, kan?”
“Lebih banyak yang kejadian. Terlalu banyak untuk sekadar disebut kebetulan.”
“Apa ada kecelakaan rutin tiap pekan atau bulan setelah Kak Azlin mimpi buruk, sampai situ bisa nyimpulin kayak gitu?”
Nara bertanya bersamaan dengan aku yang menyesap earl grey tea. Tentu saja aku langsung tersedak. “Amit-amit, Nara!”
“Ya, kalau enggak begitu, berarti kan enggak bisa diklaim pasti terjadi. Kejadiannya jarang-jarang juga.”
Sial, aku tidak bisa menyangkal. Biarpun dibilang akurasinya nyaris sempurna, memang beberapa ramalan mimpi dari warga Kota Ilusi melenceng jauh. Akan tetapi, perbandingannya satu banding seratus. Lebih bahkan. Kans benarnya jauh, jauh lebih besar. Lagipula, kemarin sungguhan ada kecelakaan tunggal, persis di tempat yang muncul dalam mimpiku. Bagaimana kalau Runa tidak kucegah dan menjadi korban?
“Lagian ya, Kak, enggak cuma itu yang bikin gue ngomong Kakak kurang common sense.”
Aku mendongak, bersitatap dengan mata Nara. Perasaanku saja atau tatapannya melembut?
“Kak Runa tipe orang yang punya pride tinggi. Dengan Kak Azlin nawarin bantuan duit blak-blakan kayak gitu, dia pasti tersinggung.” Lelaki berkulit keemasan itu menyesap kopinya. “Saran gue, Kakak tawarin kerjaan freelance buat dia, terus Kakak bayar dari situ. Gue yakin Kak Runa bakal lebih oke dengan cara begitu.”
Dengan kondisi Runa yang selalu tutup mulut kala berpapasan denganku? Aku tak yakin. Tentu saja kuutarakan keraguanku itu.
Nara menatapku dengan tatapan yang-benar-saja-masa-yang-begini-diajarin? “Lo nawarinnya jangan bilang buat bantu keluarganya, Kak. Bilang aja lo lagi butuh dan cuma Kak Runa yang bisa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] The Boy I Met in Dream
Storie d'amore[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya selalu benar. Pengalaman hidup membuktikan kebenaran masa depan yang ia terawang melalui mimpinya. Itu sebabnya, ketika ia bermimpi tentang pern...