10: Dia yang Akhirnya Menerimaku

171 37 34
                                    

Ada yang bilang, batas maksimal seseorang mendiamkan saudaranya itu tiga hari tiga malam. Ini sudah hari ketika sejak Runa mendiamkanku, dan belum ada tanda-tanda ia mau membuka percakapan lebih dulu.

Tidak masalah. Aku punya mental badak, maka aku akan maju duluan.

Senjataku kali ini adalah proposal pengajuan handling akun media sosial dan seporsi nasi uduk lauk komplit—kali ini semi-semi instan, karena aku agak kesiangan setelah begadang semalaman. Untuk aku yang masuk dalam tipe manusia tanpa perencanaan, membuat proposal rinci dalam semalam sama sekali bukan keahilanku. Namun, ini usahaku menunjukkan keseriusan pada Runa.

Kalau dengan cara ini tidak luluh juga, mungkin aku memang harus say goodbye untuk pertemanan ini.

Gara-gara kesiangan pula, jam masuk kantorku di presensi nyaris tidak selamat. Untungnya masih ada jarak kurang dari semenit.

Semalam, sebelum berkutat dengan proposal, aku curhat ke Mama. Kalau boleh jujur, aku takut ditolak. Patah hati dimusuhi teman dekat itu lebih perih daripada cinta tertolak. Untung Mama ajaib. Dengan suara halusnya yang cocok dipadukan bersama angin lembut dan tetesan embun di pagi hari, hatiku terasa sedikit lebih lega.

Aku turut menyelipkan parfum kesukaan Runa yang sudah dibubuhi bubuk perasaan. Sebungkus kecil rasa kepercayaan saja harganya sudah lima ratus koin (setara Rp500.000,-) sendiri, padahal takarannya persis isi kemasan micin mi instan. Selain karena kehilangan sahabat, aku akan menangisi mahalnya bubuk perasaan kalau usaha perdamaian ini gagal.

Runa takkan tersinggung, kan, kalau aku membelikan sesuatu untuknya? Harusnya tidak. Dia masih menerima kado dan pemberian selama harganya tak lebih dari seratus koin (anak itu yang menentukan nominalnya, aku pernah bertanya padanya). Perkara bubuk perasaan, dia kan tidak tahu, jadi anggap saja tidak masuk hitungan.

Tuhan, tolong bantu aku meluluhkan hatinya.

Wajah Runa begitu datar ketika aku menghampiri mejanya. Kuletakkan sesajen, eh, perbekalan dan proposal. Aku sudah bisa menduga kalau Runa akan membalas dengan tatapan sinis, jadi ketika gadis itu benar-benar melayangkan pandangan tajam, aku hanya memasang tampang inosen.

“Apa?” ketusnya.

Ayo, Azlin. Jangan goyah dengan kegalakan Runa. Aku tetap tersenyum. “Lagi buka freelance buat handle Instantok, enggak?”

“Mau ngapain lo?”

“Aku mau minta tolong Runa untuk handle akun portofolioku sebulan, sekalian naikin engagement-nya.” Walau tak semagis senyum Mama, aku berharap Runa bisa luluh hatinya. “Bisa, enggak?”

“Sejak kapan lo peduli sama akun medsos?” Gadis itu mendelik. “Akal-akalan lo, ya? Lo masih ngasihanin gue, kan?”

Keras kepala sekali. Aku memang bersimpati pada kondisi Runa, tapi jelas bukan dalam konotasi negatif seperti apa yang ada di dalam kepalanya. Kenapa prasangka dia sampai segitunya, sih? “Aku ingin mencoba berdikari kayak Runa. Apalagi Runa jago banget masalah permedsosan.”

Perempuan yang kali ini mengenakan bando alih-alih bandana itu mengernyit. “Hidup lo udah enak ditopang orangtua. Ngapain sok-sokan mandiri?”

Aduh, salah ngomong. Sepertinya Runa malah makin tersinggung. Bagaimana ini? Akan tetapi, kalau boleh jujur, aku juga tersentil perkara celetukan Runa barusan. Memangnya merantau bukan salah satu upaya untuk mandiri?

Aku teringat kilasan momen yang sudah kukubur dalam-dalam, bahkan di alam bawah sadarku. Tolong, ini bukan momen yang tepat. Kutarik napas panjang, lantas kubuang lamat-lamat, dengan harapan fragmen memori di kepala yang mulai timbul ikut hanyut bersama udara.

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang