Rupanya, yang kemarin memang betulan tidak bisa dihitung cuti. Alias, Runa harus potong gaji sehari. Yah, harga yang jauh, jauh lebih murah kalau dibandingkan keselamatan diri, tapi Runa marah besar.
Bahkan, ia menolak sarapan yang kubuat. Padahal, hari ini aku membuat nasi uduk dengan potongan daun jeruk, dilengkapi sambal roa dan telur dadar. Kesukaan Runa. Alih-alih menerima, gadis berambut pendek itu membentakku.
“Gue bodo amat sama mimpi lo yang konyol itu, tapi ngapain bawa-bawa adik gue segala sih?”
Mungkin nanti aku harus membelikan adik Runa sesuatu untuk tanda terima kasih. Menahan perempuan keras kepala dan mudah emosi bukan hal mudah. “Karena aku tahu betapa bebalnya dirimu, Runa.”
“Takdir itu di tangan Tuhan. Kalau gue mati, ya mati aja!”
Bukan, Runa bukan orang yang pesimis dengan hidupnya. Namun, ucapan begitu membuat jantungku terasa bagai diremas. Apa seharusnya aku membiarkan Runa berangkat saja kemarin? Biar dia merasakan sendiri kecelakaannya. Tahu kalau aku tidak main-main saat berkata mimpiku selalu benar. Namun, mana tega?
Kutarik napas perlahan. “Aku lihat sendiri kejadiannya, Runa. Persis di tempat yang biasa kamu lalui. It could be you.”
“Dan kenapa gue harus percaya?” sentak Runa.
Sumpah, aku sakit hati, tapi aku tidak bisa marah. Aku sadar kalau firasat mimpi sulit dibuktikan ke orang lain. Untukku saja, butuh waktu beberapa tahun di masa kecil sebelum akhirnya yakin memang mimpiku yang menempel di otak merupakan gambaran masa depan. Apalagi Runa, warga Kota Nirkhayal yang kelewat mendewakan akal?
Aku tidak bisa membalas Runa. Aku hanya bisa menangis. “Potongan gaji sehari itu kecil banget kalau dibanding risiko kehilangan nyawa, Runa ….”
Kawanku yang satu itu masih tersulut amarah. Jarinya menuding mukaku. “Gue butuh gaji utuh bulan ini buat kuliah adik gue. Obat bonyok gue. Potongan yang lo kata kecil itu gede buat gue!”
Aku tertegun. Serius, Runa buka-bukaan di sini? Ketika masih ada Nara dan Mas Yogi? Anak itu paling anti membuka kesulitan keluarganya di hadapan orang lain, aku tahu. Cerita padaku saja awalnya karena aku tak tahan melihat muka kusutnya dan memaksa. Kalau sudah begini, memang masalahnya sepelik itu.
Sejujurnya, aku sedikit merasa bersalah, tapi gimana dong? Kalau Runa betulan kecelakaan persis seperti mimpi itu, bukankah segalanya bakal jadi lebih runyam?
Dari dulu, aku selalu menawarkan sesuatu yang bisa membantu Runa. Dia yang selalu menolak. Sambil marah pula. Akan tetapi, akan kucoba menawarkannya sekali lagi. Begini-begini, aku manusia yang bertanggung jawab atas kesalahanku—walaupun dalam kasus ini, aku tidak salah.
“Runa …. Kamu mau pakai uangku dulu?” Kalimat itu kulontarkan sepelan mungkin. Uang tabunganku masih cukup kalau dipakai talangan sementara, toh aku masih bisa hidup dari gaji pokok yang ada. Mama dan Papa juga selalu menganjurkan untuk membantu orang yang kesulitan. Kalau pinjam ke aku, Runa tidak perlu memikirkan jatuh tempo atau bunga. Bukankah itu win-win solution?
Gebrakan meja menggema hingga seantero ruangan. Mata bola Runa melotot.
“Lo emang tajir melintir, kerja rantau juga buat main-main doang, kan? Mana paham struggle orang miskin kayak gue?” bentak Runa. “Gini-gini, gue masih punya harga diri buat nggak ngemis-ngemis. Apalagi ke orang kaya yang hobinya ngerendahin orang lain!”
Oke, aku tahu Runa kalut, tapi kalimat terakhir betul-betul menusuk. Tidak pernah sekalipun, seumur hidup, aku memandang rendah siapapun. Sikap manakah yang pernah kulakukan dan membuat Runa berpikir seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] The Boy I Met in Dream
Romance[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya selalu benar. Pengalaman hidup membuktikan kebenaran masa depan yang ia terawang melalui mimpinya. Itu sebabnya, ketika ia bermimpi tentang pern...