18: Dia yang Berada di Ambang Kematian

147 38 7
                                    

Mama mewariskan kulit cerah dan pipi merona padaku. Kena panas sedikit saja, beliau sudah memerah. Akan tetapi, jangankan rona wajah, jejak kehidupan saja rasanya sudah nyaris tersedot seluruhnya dari muka Mama ketika beliau dilarikan ke ruang operasi.

Jangan bayangkan Mama tergulung perban macam orang pakai turban putih di sinetron-sinetron. Aku juga baru tahu kalau teknologi pembedahan sekarang secanggih itu. Kasanya hanya ditempel di sekitar area operasi yang besarnya tak sampai sejengkal. Ketika Mama berbaring, kepalanya tampak baik-baik saja alih-alih baru melalui operasi besar.

Meski begitu, tetap saja. Dari luar, luka pasca operasinya boleh saja terlihat kecil, tapi proses bedahnya menembus tulang tengkorak. Aku berusaha sekuat mungkin menahan air mata agar tak tumpah selama menjadi pendamping Mama di rumah sakit. Aku suka melihat Mama yang sedang tersenyum, tapi tidak di atas bangsal pasien dengan selang di hidung.

Entah sampai kapan aku harus menunggu di sini. Perawat sedang mengganti kandungan infus dan membantu menyuntikkan obat entah apa, sementara dokternya menganalisis kondisi Mama. Selama itu pula, aku tak beranjak dari sisi Mama. Bagaimana bisa aku pergi menjauh, kalau mimpi yang datang padaku semakin menyeramkan?

Mama meninggal lagi dalam mimpiku semalam. Terekam jelas, terlalu jelas. Aku sampai takut tidur, tapi ujung-ujungnya aku kembali terlelap dan makam Mama kembali muncul. Kali ini jelas aku tak berharap ia mewujud.

Masalahnya, mimpiku selalu benar. Minimal, kalau memang itu suratan takdirnya, aku ada di saat-saat terakhir beliau.

Aku sudah titip pesan pada Mas Yogi terkait cutiku. Hanya saja, jangankan menentukan batas harinya, membuka ponsel pun aku tidak sanggup. Urusan kantor biarlah nanti saja. Kepalaku sama sekali tidak bisa diajak berpikir. Apalagi mendesain. Masalah dengan Runa dan Nara juga nanti-nanti saja.

Kalau mimpiku dengan Nara tak terwujud karena mimpiku tak selalu benar, aku ikhlas, Tuhan. Asalkan, mimpiku tentang Mama yang meninggal juga tidak benar.

Dengan siapa aku berbagi kegelisahan ini? Teman dekatku nyaris tak ada. Entah bagaimana, mereka yang pernah dekat denganku selalu menjauh dengan alasan perbedaan level ekonomi. Kemarin, Runa pun marah padaku dengan alasan yang sama.

Bukan aku yang minta kaya padahal. Kenapa kisah pertemananku begini amat, sih?

"Azlin, makan dulu." Papa masuk dengan kresek putih di tangan. Aroma ayam dan daun bawang menguar dari sana. Papa masih mengenakan seragam coklat khas pegawai negeri, tanda bahwa beliau sempat kembali ke rumah sore ini.

Itu kesukaanku, tapi aku sama sekali tidak selera.

"Kamu pucat banget, Nak. Ayo makan." Papa berkacak pinggang. Di saat-saat seperti ini, sempat-sempatnya beliau memasang ekspresi lawak. "Enggak lucu, ya, kalau kamu rawat inap juga gara-gara enggak mau makan."

Demi Papa yang sudah susah payah mencarikan bubur ayam pangsit, aku menyendoknya perlahan. Andai Mama sudah bisa makan ini. Saat kecil, Mama sering membelikanku bubur ayam pangsit di akhir pekan. Mataku kembali melirik Mama yang masih terbaring tenang di atas bangsal. Mama ... aman, kan?

Aku kembali teringat ucapan si perawat. Harapan berhasilnya tidak sebesar yang kami bayangkan. Bagaimana kalau mimpiku benar akan terjadi dalam waktu dekat?

Aku tidak bisa hidup tanpa Mama. Di rantauan pun, aku tetap butuh kehadiran Mama. Bagaimana hidupku nanti kalau Mama pergi?

"Pulang, Lin. Malam ini giliran Papa yang jaga." Papa mendorongku ke pojok luar kasur penunggu, membuyarkan pikiran yang bercokol di kepala. "Kamu baru tiba di Kota Ilusi kemarin. Kamu juga harus istirahat dan jaga kesehatan."

Dengan kondisi Mama yang begini? Mana mungkin? Masalahnya, membantah Papa adalah sebuah kesia-siaan. Maka, dengan gontai aku mengangguk.

"Sekarang, Azlin."

"Papa aja belum balik rumah!" Aku langsung protes perkara diusir begitu saja. "Belum mandi dan bebersih juga, kan?"

"Papa mah gampang, Lin." Papa mengibaskan tangan. "Pulang sana. Muka kamu pucat, Azlin."

Kuhela napas panjang. Daripada Papa merepet makin panjang, lebih baik aku langsung menaati titah beliau.

*

Sudah kuduga, pulang adalah pilihan buruk. Tiba di kamar, mimpi buruk menyergap. Badan dan hatiku tidak mau bekerja sama. Tak dapat kupungkiri, tubuhku memang sudah meronta minta hak untuk istirahat dalam tidur. Masalahnya, kapal mimpi selalu membawaku pada pemakaman Mama.

Kali ini, aku tak hanya melihat gundukan makam. Aku menyaksikan seluruh prosesnya, mulai dari penggalian kuburan, arak-arakan yang membopong keranda berisi mayat Mama, hingga proses pengembalian Mama ke dalam pelukan tanah. Sepanjang peristiwa-peristiwa itu berlangsung, aku melihat diriku menangis di sebelah Papa. Aku yang menyaksikan dari jauh ingin berpaling saja, tapi kaki dan badanku rasanya dipaku.

Urutan pemakaman Mama begitu detail. Tak lama setelah galian tanah terakhir sempurna menutup tempat peristirahatan terakhir, orang-orang membanjiri makam Mama dengan bunga mawar. Mama memang suka mawar, apalagi yang kuning dan merah. Kelopak mawar bertebaran di atas gundukan. Posisiku masih sama: hanya bisa menyaksikan. Tak bisa mendekat. Tak bisa turut menyampaikan salam perpisahan.

Mendadak, bahuku ditarik ke belakang. Aku masuk ke ruang hampa. Hanya gelap sejauh mata memandang. Sebenarnya, aku bukan termasuk manusia-manusia yang punya fobia terhadap gelap, tapi rasanya hitam pekat ini begitu mencekik.

Suara orang-orang yang kukenal menggema. Nara. Runa. Bahkan Mas Yogi dan Mbak Sella juga. Wujudnya tiada, tapi jeritan-jeritan mereka menusuk gendang telinga.

"Payah lo, Lin. Masa gitu aja enggak bisa? Dasar manja."

"Lo freak banget, sih, jadi orang?"

"Kerjaan gini aja enggak beres. Lo masih niat kerja kagak, sih?"

"Pergi sana, Kak. Lo tuh aneh. Gue enggak mau kenal sama orang aneh kayak lo."

Mana yang sungguhan pernah terucap? Mana yang hanya ada di kepalaku? Semua campur aduk. Syukurlah karena begitu bangun aku tak bisa mengingat makian yang mereka lontarkan padaku, tapi ada satu perasaan yang besar dan menyesaki batin.

Benci.

Semua orang di Masatoki benci padaku. Perasaan itu begitu nyata. Memang, selama dua tahun kerja di sana, orang-orang masih bersikap baik—tapi di belakang, siapa yang tahu? Mereka pasti menganggapku aneh karena begitu percaya dengan mimpi, dan sekarang aku mangkir dari pekerjaan tanpa konfirmasi. Bukankah wajar kalau mereka memang membenciku sebagaimana yang ada di mimpi?

Tidak. Aku tidak mau dibenci seseorang, apalagi yang sudah kuanggap teman dekat. Aku berusaha membela diri, tapi suaranya hilang. Seperti ada yang memberi sekat agar ia tak bisa keluar. Yang paling kuingat selain pemakaman Mama dari mimpiku adalah Nara yang sekonyong-konyong keluar dari kegelapan dan menatapku dingin.

"Gue benci ama lo, Kak."

Napasku sesak. Tak kunjung reda bahkan bermenit-menit setelah bangun. Berhubung aku sendirian di rumah, aku tak bisa minta tolong siapa-siapa. Tertatih, aku jalan ke dapur, mengambil segelas air hangat. Tetap tidak membantu.

Seburuk itukah masa depanku?


01/05/2024. 1026 words.

Entah bisa kekejar dua bab lagi apa enggak. Aku sampai ngerjain ini di blok M (aku kerja di Bekasi) saking pingin naskah ini tamat, tapi jujur stres dikit yaah wkwk.

Doain aja ujianku lancar dengan waktu belajar yg mepet, karena kalau ini enggak selesai skrg (DL, berarti aku hrs mundurin alokasi waktu belajarku lagi :')

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang