Akhirnya, kesepakatan tercapai. Aku dan Nara akan berkolaborasi untuk kegiatan berbagi yang Nara adakan, tapi baru akan dimulai setelah huru-hara proyek kami kelar. Rasanya, spirit yang sempat sirna untuk menggambar ulang semua ilustrasi jadi melonjak karenanya. Lebih cepat semuanya selesai, lebih banyak kesempatan untukku melakukan pendekatan lebih intens. Luar biasa memang kekuatan dari kehadiran seorang Nara.
Nara jadi sedikit lebih ramah. Sekarang, ia menyapaku lebih dulu. Bare minimum, sih, tapi aku sudah sering cerita tentang betapa dinginnya Nara padaku, kan? Ini kemajuan yang benar-benar besar. Aku tidak bisa menyimpan bahagia yang membuncah ini, aku harus membaginya.
Ah, ya. Sudah lama aku tidak bertukar cerita dengan Runa. Sejujurnya, sejak kejadian itu, ada sekat yang melebar di antara kami. Bahkan setelah aku minta tolong padanya untuk mengurus media sosialku pun, percakapan kami betul-betul hanya seputar itu.
Runa sama sekali bukan manusia kaku yang kebingungan untuk bergaul. Sebaliknya, justru dia lumayan supel sebenarnya. Orang kantor sering bilang pembawaan Runa cenderung serius dan lebih banyak diamnya, tapi kurasa itu karena mereka membandingkannya denganku, manusia yang lima menit diam saja lidahnya sudah gatal. Lagipula, Runa masih banyak omong padaku, walaupun memang setengahnya mengandung nada sinis bawaan.
Namun, beberapa hari ini, interaksi kami sungguh renggang. Kalau bukan aku yang mengajak bicara lebih dulu, Runa takkan buka mulut. Padahal, biasanya ada saja yang ia komentari dariku, dan aku tidak pernah keberatan akan hal itu.
Ada apa dengan Runa?
Aku kangen celetukan Runa. Hari ini aku sengaja nyaris menelatkan diri dan membuat menu sarapan yang preparasinya cukup lama: kimbap dengan isian sayur yang berbeda-beda. Entah nanti anak itu heran atau mengomel karena pengaturan prioritasku yang kelewat asal, aku siap menerima. Akan tetapi, gadis dengan bandana putih itu hanya mengucap terima kasih dengan singkat.
"Runa—"
"Nar, gue ketemu buku yang waktu itu lo bilang pingin nyari, loh. Lo mau pinjam?" Runa malah bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Nara yang baru saja meletakkan tas selempang di kursi kerja. Ekspresif sekali, sangat berkebalikan dengan muka yang gadis itu tunjukkan padaku beberapa saat lalu. Nara sendiri menoleh sekilas, melambai padaku sebelum meladeni Runa.
Padahal aku ingin cerita tentang betapa bahagianya melihat sikap Nara yang mulai cair padaku, tapi rasanya interaksiku dengan Nara tak ada apa-apanya dibanding kedekatan mereka.
Salahku apa? Bukankah aku sudah minta maaf?
*
"Nara."
"Hm?"
"Runa cerita sesuatu enggak, ke kamu? Mungkin tentang dia yang kesal sama aku atau apa, gitu?"
Aku mendekati lelaki itu pada jam makan siang. Kebetulan, kimbap tadi pagi porsinya kebanyakan, jadi sekalian saja kutawarkan untuk dimakan berdua sebelum Nara keluar ruangan. Bukan sengaja modus, sumpah. Membuat makanan dalam porsi banyaknya memang sengaja, tapi niat awalku caper ke Runa, bukan Nara!
Yah, sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, sih.
Yang ditanya menggeleng sebelum mencomot kimbap isi wortel, timun, dan daging sapi giling. "Enggak ada, ah. Lo sama Kak Runa berantem lagi?"
Bagaimana bisa disebut pertikaian, kalau salah satu pihak hanya bergeming? Kalau ditanya, aku juga bingung ini situasi apa sebenarnya. Jadi, aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Pertemanan cewek itu ribet, ya." Nara geleng-geleng kepala. "Kalian berdua kan sudah dewasa. Gimana kabar proyek lo sama Kak Runa?"
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] The Boy I Met in Dream
Romance[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya selalu benar. Pengalaman hidup membuktikan kebenaran masa depan yang ia terawang melalui mimpinya. Itu sebabnya, ketika ia bermimpi tentang pern...