11: Dia yang Berbagi Denganku

163 37 34
                                    

Satu hal yang paling kubenci adalah ketidakpastian. Termasuk perihal pertanda mimpi. Biasanya, ada saja satu-dua muka yang kuingat, atau penanda lokasi yang familiar, jadi aku bisa menangkap maksud dari mimpi yang membekas di kepala. Akan tetapi, sampai aku berangkat ke kantor pun, yang terpatri di dalam otak hanyalah pemakaman seseorang yang tak kuketahui. Wajah-wajah pelayat pun kabur seluruhnya. Kuburannya sama sekali tak kukenali. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan dari mimpi itu?

Kali ini aku membuat spageti aglio olio dengan toping dada ayam panggang yang sudah dipotong-potong dan keju parmesan. Tidak begitu pedas karena Runa punya lambung sensitif dan aku belum tahu selera lidah Nara di ranah makanan. Iya, aku bikin tiga porsi. Akhir bulan dan gajiku masih lumayan, jadi bisa beli bahan-bahan lebih banyak. Jangan tanya kenapa aku tidak sekalian bikin buat sekantor. Mana keburu?

Kata Nara, masakanku enak kok. Aku tidak pernah membuatkannya bekal karena takut dikira caper (padahal memang iya), tapi kali ini akan kuterabas semua ketakutan itu. Semua demi mengenyahkan mimpi pemakaman yang kian jelas sekaligus kabur di kepalaku.

Aku datang ke Masatoki setengah jam lebih awal. Untukku yang sering berpacu dengan waktu di jalanan gara-gara mepet akhir jam presensi, itu pencapaian besar.

“Dalam rangka apa lo ngasih gue juga, Kak?” Nara mengerutkan dahi saat kusodorkan kotak putih berisi spageti.

“Kelebihan,” kilahku.

“Kenapa enggak ke Mas Yogi aja?”

Apakah Nara merasa risih? “Kamu enggak mau makannya, ya?”

“Eh, enggak gitu, Kak!” Nara langsung melindungi jatah bekal miliknya ketika aku hendak mengambil kembali. Lucu banget. Padahal, mana mungkin aku betulan mengambil kembali? Spageti itu memang untuknya.

Sepertinya, Nara sangat menikmati setiap suapnya. Mungkin ini efek jatuh cinta, jadi setiap kelakuan Nara di mataku tampak begitu menggemaskan. Hal sesederhana mengunyah saja bisa menimbulkan banyak interpretasi dan imajinasi. Yang jelas, senyumku melebar saat spageti aglio olio-nya tandas.

“Kak, tahu enggak?” Nara bertanya setelah menandaskan makanannya. Atau mungkin lebih tepatnya mengajukan pertanyaan retoris, sebab anak itu langsung menjawab sendiri. “Aslinya gue ada alergi keju dan kawan-kawannya kalau kebanyakan.”

Aku langsung melotot. “Terus kenapa kamu makan, hei?”

“Enak.”

Jangan bayangkan Nara memuji dengan senyum manis dan mata penuh puja-puji. Bahkan dengan filter ala cerita romansa yang terpasang di benakku pun, Nara tetap tampak memuji sekadarnya saja, alih-alih bersyukur dibuatkan bekal oleh (calon) kekasih. Meski begitu, Nara tersenyum tulus. Dan lagi, siapa yang tidak melayang kalau pujiannya diucapkan dengan intonasi yang lebih lembut dari cara bicaranya yang biasa?

“Mau dimasakin tiap hari?” Spontan, aku berceletuk. Aku sama sekali tidak keberatan kalau jawabannya iya. Kata orang, dari perut bisa lanjut ke hati.

“Lo beneran buka katering, Kak?”

Dasar tidak peka. Kenapa arahnya jadi ke buka katering, coba? “Ya, biar sekalian masaknya jadi tiga porsi sama punya Runa, Naraaa. Kan, katamu enak!”

“Enggak sekalian sekantor lo masakin, Lin?” Runa ikutan nimbrung. “Gue masih heran kenapa lo demen bawain sarapan gini dari dulu. Udang apa yang lo sembunyikan di balik batu?”

Ya ampun, sampai Runa yang sudah berbilang tahun menerima sarapan dariku pun mempertanyakan alasannya. Padahal, itu bentuk perhatian. Untuk kasus Runa, ya karena dia nyaris tidak pernah sarapan. Perhatianku masih terasa kurang tulus, kah, sampai diragukan begini?

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang