15: Dia yang Hanya Ada dalam Mimpiku

129 34 18
                                    

Tuhan mendengar doaku. Setidaknya dalam mimpi. Setelah mimpiku suram sekian lama, malam ini aku berada di sisi pulau kapuk yang indah sekali. Sebuah lilin tersemat di tengah-tengah meja. Angin laut yang hangat dan sedikit asin menyapa indera penciuman. Piring berisi ikan bakar utuh dan semangkok sambal matah tersaji di antara aku dan ... tunggu. Mukanya buram.

Aku mengerjap. Fisik lelaki itu jelas. Kulit coklat keemasan, gelang tali hitam yang melingkar di lengan kiri, jari yang padat dan tak gempal. Ciri-cirinya Nara banget. Akan tetapi, wajahnya kabur oleh angin.

Tak ada yang berminat memecah keheningan. Anehnya, malam ini terasa begitu tenang. Rasanya, tak perlu bertukar kata untuk saling terhubung. Meski wajah Nara masih kabur, aku bisa merasakan senyum di sana, dan aku tak bosan memandanginya.

Perlahan, kabut yang menyelimuti muka Nara terempas. Benar, kan? Ia tersenyum hangat. Aku turut menyunggingkan senyum lebar. Mimpi ini terlalu nyata untuk dibilang mimpi, tapi tidak ada tempat seperti ini di Kota Nirkhayal. Lelaki itu berdiri, memotong daging ikan dan mengambilkan porsi besar untukku.

"Kak Azlin suka pedas?" Nara bertanya seraya mengambil sambal matah dari wadah. Aku mengangguk penuh semangat. Dengan penuh kehati-hatian, ia menyendokkan sambal dengan aroma bawang dan serai yang segar itu ke dalam piringku.

Apa ini artinya sebentar lagi Nara akan mengajakku makan malam berdua?

Rasanya, kali ini aku tak ingin bangun. Sayang, bunyi alarm tahu-tahu merasuk. Aku kembali ke kamarku, sendirian, dan tak sempat mencecap makan malamnya. Kuhela napas panjang. Giliran mimpi indah saja, jadinya pendek. Banyak detail momen yang terluput. Aku hanya ingat kami makan malam berdua dengan suasana syahdu di tepi pantai. Padahal, lebih baik aku mengingat mimpi indah saja agar yang terwujud yang baik-baik.

Sudahlah. Aku harus berangkat ke kantor. Mana belum bikin sarapan, lagi. Aku berusaha membayangkan detail mimpi yang menaikkan rasa bahagiaku saat memecah telur, tapi alih-alih makin rinci, malah banyak bagian mimpi yang terlupa. Kenapa, sih?

Oke, Azlin, fokus. Toh setelah ini juga kamu ketemu Nara yang asli, kan, di kantor?

Tiga fluffy pancake dengan irisan apel dan taburan gula aren tersaji dalam tiga kotak kertas. Agak tidak ramah lingkungan, sih, tapi biarlah. Yang penting mudah dibawa ke kantor.

"Runa ambil cuti, ceunah." Mas Yogi langsung memberitahu tanpa kuminta saat aku masuk ruangan. Dahiku berkerut. Cuti? Bukannya jatah cuti Runa sudah habis? Aku bertanya alasannya pada Mas Yogi, tapi jawabannya hanya kedikan bahu.

Oh, mungkin telat datang saja, ya? Namun, sampai setengah jam setelah batas waktu masuk kantor, batang hidung Runa masih tak terlihat. Aku ingin memastikan kabarnya melalui Mei, tapi aku teringat insiden di pantry kemarin.

Masa Runa tidak masuk karena marah padaku?

Alasan yang tidak logis dan tidak Runa, sih. Hanya saja, sepertinya kalau aku menghubungi Mei dan ketahuan Runa, masalahnya akan makin runyam. Pilihan satu-satunya yang masuk akal adalah mendiamkan.

Mungkin memang harusnya begitu, ya. Benar kata Nara, orang stres sulit berpikir jernih.

Terus, jatah sarapan Runa buat siapa, dong?

Aku melongok ke meja Nara. Yang bersangkutan masih fokus dengan pekerjaannya. Ia baru beralih saat kepalaku menutupi sebagian layarnya. "Kenapa, Kak Azlin?"

"Mau jajan, enggak?"

"Ini maksudnya lo mau ngajakin gue keluar di jam kerja, Kak?" Dahi Nara mengerut. Aku langsung menggeleng, menunjuk tiga kotak fluffy pancake di mejaku. Mulut Nara membentuk huruf O. "Oh, Kak Runa enggak masuk hari ini?"

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang