Dua tahun kemudian.
Jeffrey sedang mendatangi rumah orang tuanya. Setelah sekitar dua tahun tidak pulang. Karena proyek pembuatan jembatan molor panjang dan baru saja terselesaikan kemarin lusa.
"Tumben pulang ke sini? Baru ingat kalau orang tuamu belum mati?"
Jeffrey terkekeh saja saat Jessica, ibunya bertanya demikian. Sebab dia langsung pulang tanpa mampir ke apartemennya yang memang lebih dekat dari bandara.
"Sorry, Ma. Aku sibuk sekali di sana, jadi tidak sempat pulang."
"Mama dan Papa tidak butuh kamu pulang. Paling tidak beri kabar! Video call!"
"Di sana susah sinyal, Ma. Bisa telepon semenit dua menit saja sudah untung luar biasa."
Jeffrey mulai menyantap makanan yang tersaji di meja makan. Sebab itu adalah tujuan utamanya. Makanan. Karena jika di apartemennya, tentu tidak akan ada yang bisa dimakan.
"Tamu dari mana ini yang datang?"
Goda Sandi, ayah Jeffrey. Dia baru saja pulang kerja saat ini. Dengan senyum sinis. Sebab selama dua tahun ini si anak semata wayang tidak pulang sama sekali. Seolah sudah tidak memiliki orang tua lagi.
"Sudah dua kali lebaran kamu tidak pulang! Kenapa tidak digenapkan saja jadi tiga? Supaya mengikuti sunnah!"
Jeffrey lagi-lagi tertawa saja. Dia mulai makan dengan lahap. Sebab dia sangat kelaparan. Karena selama dua belas jam tidak makan.
"Ma, Pa. Biarkan aku makan dulu. Aku lapar sekali karena setengah hari tidak makan apapun."
Sandi dan Jessica akhirnya diam. Mereka ikut makan sembari menatap Jeffrey yang tampak tidak bernafas saat makan. Karena dia makan begitu lahap dan tanpa jeda.
"Enaknya! Aku kenyang!"
Seru Jeffrey setelah meminum segelas air dingin. Dia juga mulai menatap orang tuanya yang tidak bersemangat makan kali ini. Sebab mengunyah pelan sekali sembari menatapnya tanpa berkedip.
"Kenapa kalian melihatku seperti itu? Ada yang salah denganku?"
"Kamu seperti orang yang tidak makan satu tahun! Lihat! Penampilanmu juga seperti orang yang tidak terurus! Untung saja aku sudah punya calon mantu!"
Seruan Jessica membuat Jeffrey terdiam. Dia tampak salah tingkah. Sebab dia memang belum cerita jika sudah tidak lagi berpacaran dengan Joanna.
"Aku dan Joanna sudah putus. Sudah dua tahun yang lalu. Saat aku pulang dulu."
Jessica dan Sandi saling tatap. Mereka kecewa tentu saja. Padahal mereka sudah bersiap membuat pernikahan megah jika si anak sudah pulang. Namun justru berita buruk yang didapat.
"Kok bisa? Kenapa? Setiap mau lebaran dia datang ke sini mengirim nastar. Mama kira kalian baik-baik saja."
"Itu karena Mama pasti membalas story Joanna yang memposting dagangan Tante Resa!"
"Iya, sih. Tapi, kan, Mama tidak tahu! Aduh! Mama jadi malu. Dua kali Mama diberi nastar gratis. Pantas saja dia selalu menolak saat Mama meminta dia datang kemari. Padahal dulu dia sering mau jika Mama ajak kemari. Meski tidak ada kamu tang menemani."
Jeffrey diam saja. Dia hanya menatap ibunya lama. Memperhatikan wajah penuh penyesalannya. Karena sudah menerima nastar gratis dari mantan pacarnya.
"Pasti kalian putus karena kamu terlalu sibuk! Ya Tuhan, Jeffrey! Kamu sudah 35 tahun! Kapan kamu akan memberiku cucu!?"
Jessica mulai memegangi kepala dan juga dada. Sebab dia sudah terlanjur pamer pada teman-temannya jika Jeffrey akan segera menikah. Karena sudah lima tahunan berpacaran.
"Aku 35 tahun masih lama, Ma. Tahun depan! Kalau tidak salah. Lagi pula kenapa harus terburu-buru, sih? Kalian masih muda dan sehat juga. Kita juga tidak punya perusahaan yang butuh penerus di setiap generasinya."
"Dengar ucapan anakmu, Pa! Dia benar-benar kurang ajar karena terus membantah!"
Jeffrey yang mendengar itu hanya menggeleng saja. Lalu bangkit dari kursinya. Membawa koper ke kamar dan meninggalkan orang tuanya di ruang makan.
Setelah bersih-bersih di kamar, Jeffrey memutuskan untuk istirahat. Dia tidur dari jam tujuh malam hingga jam dua siang pada keesokan harinya. Karena orang tuanya tidak membangunkan juga. Sehingga dia bangun dalam keadaan pusing dan kelaparan.
Jeffrey memutuskan mandi dan menuju ruang makan. Karena ingin mengisi perut yang sudah keroncongan. Karena tidak diisi hampir 24 jam.
"Akhirnya bangun juga! Tadi Mama bertemu Justin di Hypermart. Dia beli popok dan susu bayi. Istrinya baru saja melahirkan. Kamu tidak ke sana?"
"Ini baru mau ke sana. Enaknya aku belikan apa, ya?"
Jessica diam sejenak. Guna berpikir tentu saja. Sedangkan Jeffrey mulai makan dengan perlahan. Tidak seperti semalam yang dengan tergesa.
"Uang saja, lah! Kamu pasti tidak bisa memilih barang meski sudah Mama tunjukkan. Coba saja ada pacar, pasti bisa diandalkan."
Jeffrey mendecih pelan. Lalu lanjut makan. Sedangkan Jessica mulai menyiram tanaman yang ada di depan. Sembari menunggu suaminya yang mengatakan akan pulang cepat. Karena tidak ada banyak pekerjaan di kantor kejaksaan.
3. 30 PM
Jeffrey baru saja tiba di rumah Justin dan Nuri. Rumah dengan pagar berwarna putih. Karena mereka memang mendapat pinjaman bank cukup banyak sehingga dapat tinggal di rumah sendiri.
"Permisi!!!"
Seru Jeffrey yang memang baru datang kemari untuk yang pertama kali. Dia tersenyum saat melihat keadaan rumah yang tampak nyaman sekali. Karena itu berarti, kehidupan temannya cukup baik sehingga dia tidak perlu merasa khawatir lagi
"Jeff! Kapan kamu pulang?"
Tanya Justin yang baru saja keluar dari kamar. Sebab pintu rumah dan gerbang dibuka lebar-lebar. Sehingga Jeffrey bisa masuk sekarang.
"Kemarin malam. Istri dan anakmu mana? Aku boleh langsung lihat atau pakai sesuatu dulu supaya tidak ada kuman?"
Justin terkekeh pelan. Sedangkan Jeffrey mulai mengangkat kedua tangan. Sebab dia mengingat saat insiden Covid-19 pada beberapa tahun silam. Saat semua orang menjadi gila kebersihan dan selalu semprot-semprot saat akan dan selesai bertemu orang.
"Justin, aku akan pulang seka———"
Jeffrey mulai menurunkan tangan secara perlahan saat melihat Joanna keluar dari kamar. Wanita itu sudah berambut panjang gelap. Dengan poni yang menutupi dahi dan separuh pipinya.
"Iya. Mega sudah dekat?"
Justin tampak salah tingkah. Karena dia jelas tidak enak pada Jeffrey yang baru saja datang. Karena pria itu tidak tahu jika hubungan Joanna dan Mega telah berkembang. Bahkan mereka akan menikah bulan depan.
"Iya, sudah sampai depan."
Justin baru akan kembali bersuara. Namun suara tangisan bayi dari dalam kamar terdengar. Membuat pria ini bergegas masuk ke dalam. Agar bisa membantu istrinya menenangkan.
"Kalian masih berhubungan?"
Tanya Jeffrey dengan senyum tipis yang tersungging di wajah. Dia berusaha terlihat biasa saja. Meski dalam hati jelas kecewa luar biasa.
"Iya. Kami akan menikah bulan depan."
Jawab Mega dari belakang. Karena dia baru saja pulang kerja dan berniat menjemput Joanna yang sejak siang tadi berada di sana. Guna menemani Nuri yang ditinggal Justin belanja.
"Oh, kalau begitu selamat. Semoga diperlancar."
Ucap Jeffrey sebelum memasuki kamar yang ada di dekat tangga. Karena dia ingin melihat si bayi yang masih saja menangis kencang. Seolah sedang mewakilkan apa yang dirasakan sekarang.
10 comments for next chapter.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
STAGE OF GRIEF
RomanceThe 5 Stages of Grief is a theory developed by psychiatrist Elisabeth Kübler-Ross. It suggests that we go through five distinct stages after the loss of a loved one.