DALAM lingkup ruang pandang Choi Jimin dapat disimpulkannya atas maksud utama Jina memberi momentum ia untuk mengenalkan bentuk pelatihan lain yang bahkan sebelumnya tidak diterima. Kim Jina tidak lagi menarik. Selayak perempuan pengganggu lainnya. Dan Taehyung Rutledge mungkin akan kembali ke masa di mana ia menghancurkan kehidupannya sendiri. Reminisensi mungkin terulang.
Jane Fletcher merupakan bencana awal, dan Kim Jina barangkali bagai gempa susulan.
Dari terkaan, mulanya Jina memang tidak menunjukkan sesuatu yang membahayakan. Perempuan tersebut murni tanpa kebohongan, itulah yang membuat Jimin kebobolan. Seharusnya Jimin bisa mengerti ini, selain Anne Rutledge dan kedua ibu mereka, semua wanita adalah sampah. Kontur mereka melulu manipulatif sehingga gampang memperdaya. Wanita yang Jimin kenal selalu mengandalkan tubuh mereka sebagai alat. Lebih dari pengandaian, ‘tubuhmu merupakan pelurumu’.
Untuk bisa mendapat izin menemui Jimin, Jina hanya perlu trik yang beruntungnya disetujui. Jimin menyadari dari awal ia dihubungi. Rutledge jelas sedang di luar pengawasan. Ia langsung memerintahkan beberapa orang mereka untuk membawa Jina ke tempat ini. Arena tembak outdoor. Kemudian alih-alih memberi senjata, ia perintahkan perempuan itu duduk.
Dipandang Jina yang kelesah. Tujuan awal bisa diterkanya bila perempuan ini hanya ingin bicara, bukan seperti alasan konyol untuk memintanya melatih.
Maka Jimin memberi kebijakan, “Bicaralah.”
Ada yang mencegat kata-katanya langsung keluar. Jimin lebih kentara menunjukkan keengganan, pria tersebut sesuai praduganya benar-benar menganggap Kim Jina sebagai penghalang mereka. Ini semua berkat tindakan Rutledge yang menyimpang, kendati Jina ingin berterima kasih atas itu. Dan sebagai risikonya ia mesti menerima kebencian Jimin. Pria itu telah memandangnya lain. Tidak ada lagi wajah ramah atau senyum menawan. Hanya ada sosok jemawa sekaligus merendahkan. Jimin mungkin juga menganggap ia sebagai percik di antara pertikaiannya dengan Rutledge. Apa mereka bertengkar?
Rautnya yang dingin membuat segan, tetapi ia harus. Jina merasa perlu meluruskan. Apakah ketika Rutledge memilihkan nasibnya untuk tetap hidup juga memancing hal serupa ini? Ia ingat Jimin pernah membicarakannya. Waktu itu ia tidak dalam kondisi sadar, dan sekarang ia benar-benar sadar dan melihatnya bahkan turut menanggung. Namun ini mungkin terasa sangat menyebalkan untuk Jimin. Jina sudah berupaya untuk tidak egois.
Ia memikirkannya sepanjang malam, “Aku akan menggantikan, kepala ayah dengan milikku sendiri.” Jina sudah terlalu ingin mengakhiri ini segera. Pandangan mengabur dan tetap harus terlihat baik. Kim Jina mungkin bukan siapa-siapa, tetapi dengan wajah Jane ia tahu bisa bertindak lebih.
Atmosfer terasa lebih menyudutkan, Jimin tidak merespons secara cepat. Jina mulai memikirkan kalimat lain untuk dikatakan selanjutnya.
“Kau memintaku untuk memutus kepalamu?” Dibutuhkan hampir dua menit akhirnya Jimin memberi tanya, dan itu peluang bagus ketimbang Jina tidak mendapat balasan apa pun. “Atau itu hanya pengibaratan?”
“Aku tidak peduli jika aku akan mati di sana, Jimin. Bagiku, bisa mendatangi Jung Jungkook menjadi tujuan utama. Dan aku butuh bantuan menyingkirkan Jane untuk itu.”
“Dan kau akan memanfaatkan wajah itu untuk merayunya sebagai Jane? Menunggunya lengah, sebelum kemudian membidiknya secara mudah?” Tawa Jimin di akhir kalimat tidak mengejutkan. Pria itu pasti sangat kesal.
Jina telah memikirkan persoalan itu juga. Jimin tidak salah menebak bahwa ia akan menunggu kelengahan. Kim Jina tidak pandai soal pembunuhan. “Kau ingin membuatku disalahkan atas lenyapnya dirimu jika kau gagal ya, Rutledge telah menentang keterlibatanmu semenjak ia menyimpang dari rencana. Sekarang, selain telah menghambat, kau mau bunuh diri!”
“Apa salahnya? Selagi Jung Jungkook bisa ikut ke neraka bersamaku. Tujuanku selesai, jika pun kami mati bersama-sama.”
“Baiklah. Anggap bantuanku sebagai pembayaran atas informasimu.” Jawaban Jimin membuatnya jauh lebih lega. Telah dipikirkan hal ini matang-matang.
━━━━
Rasanya begitu tidak pantas, semakin membuatnya tidak nyaman. Pasalnya, Taehyung Rutledge telah memberikan hadiah terlalu banyak. Kendati tidak sepadan jika dibanding pada perbuatannya yang membuat impak permanen. Namun Jina merasa tidak harus menunjukkan kehancuran itu sekarang. Sementara hati masih berkabung ia mesti terlihat tegar, maka diusapnya pipi yang basah lagi. Garis takdirnya di depan telah menjadi begitu jelas.
Diletakkan gucinya di sana, di atas lemari rak yang tingginya tidak lebih dari satu setengah meter, setelah memindah beberapa barang untuk memberi ruang kosong yang cukup. Sudah pasti ia tidak bisa pergi ke Kolumbarium untuk menempatkannya lebih layak di sisi guci ibu. Jadi untuk sementara hanya ruang kamar ini yang ia punya dan bisa diusahakan menjadi tempat peristirahatan nyaman. Ini kamar milik Anne, Jina tahu, dan tidak seharusnya ia lancang mengobrak-abrik tatanan. Namun, sekali lagi, hanya ini yang sanggup Kim Jina usahakan.
Tiada foto untuk ditegakkan di sebelah gucinya. Wadah keramik tersebut masih dipandangi hingga beberapa menit kemudian. Ada begitu banyak kenangan melintas, ruang kamar itu mendadak berubah menjadi bayangan lama tempat lain. Di mana Ayah masih sangat sehat dan prima, Jina kecil tumbuh secara mengesankan. Selamat dari serangan kilas balik tersebut Jina tersentak dengan kemunculan dadakan Rutledge. Pria itu seperti siap untuk bermimpi bersama jubah tidurnya. Sandal rumahan menepak membawa tubuh bongsornya mendekat.
“Mau teh?” Saat itulah Jina menyadari pada apa yang Taehyung bawakan. Dua cangkir minuman di atas nampan.
Bukan keharusan untuknya mengimitasi tindakan Rutledge, Kim Jina hanya menuruti respons tubuhnya yang biasa. Ya kan begitu? Taehyung tidak mengatakan apa pun selain menawarkan secangkir teh yang dibawanya, dan lalu menyesap kopinya sendiri. Selama menit berangsur mereka cukup saling diam. Bersilat melalui pikiran, duduk berdampingan membuat masing-masing diri mesti menahan gejolak sesuatu. Tidak ada yang aneh, seperti perdebatan yang seharusnya hadir. Atau pembahasan panas seperti terakhir kali. Jina hanya tidak siap dihadapkan dengan situasi serupa ini, secara mendadak. Taehyung pun tidak memulainya. Jadi apakah tujuannya hanya untuk memberikan teh dan duduk membisu?
Apa yang Taehyung Rutledge pikirkan? Dan, apa yang membuatnya sendiri justru bertahan di tempat? Jina bahkan enggan menengok sekadar memandang pria tersebut untuk menuruti rasa penasaran. Dan tehnya mulai dingin tanpa dapati sentuhan.
Waktu terus berjalan sampai didenting pertama terhitung satu jam dihabiskan seperti patung bernapas. Seperti tengah tanding diam-diaman. Jina mulai lelah, tetapi sebelum berniat mengalah, Taehyung berdeham memecah keheningan janggal mereka. Bokongnya meninggalkan sofa, berdiri menatap dari atas.
“Kau akan melalukan apa pun?”
Pertanyaan Taehyung membuat situasi menjadi tidak lagi mengherankan. Jina sedang dituntut atas timbal balik. Ia sadar bahwa dirinya masih berusaha berbohong untuk tidak ingin tahu kejelasan mengapa Taehyung memutuskan hal yang menyimpang itu. Apa pun ia tidak sedang ingin menambahi rasa kecewa. Sementara telah diputuskan untuk mengakhiri permainan yang tidak sempat ia mulai secara bagus ini. Jina akan pergi, kemungkinan tiada akhir untuk bisa kembali. Apa yang terjadi dengannya; ia senang bisa sebentar merasa seperti seseorang yang berharga, merasakan afeksi dari seorang pria, menikmati malam tanpa seorang diri. Terutama ia tidak menolak bahwa hatinya pernah merasa begitu berbunga berkat Taehyung Rutledge. Siapa pun tidak pernah atau akan melakukannya lagi.
Di waktu kemudian ia berdiri. Taehyung menyambutnya terlalu serampangan. Ciumannya yang menuntut, kedua tangan merengkuh dan mendorong punggung untuk mengupaskan jarak. Jina terdongak, sementara hatinya berperang batin antara menikmati atau menyangkal. Yang pertama terlalu menggodanya, terutama sebab ia merasa tidak akan ada lagi malam ketika Taehyung menyentuhnya secara intim. Atau ketika Jina bisa menyaksikan gairah di antara mereka timbul besar-besaran.
Sementara Taehyung memberikan peluang untuk memperlancar lagi pernapasan, Jina tidak memanfaatkan dengan justru meneruskan yang pria itu hentikan. Ciumannya belum seahli yang dicium. Kedua tangan dikalungkan menggantung di kedua bahu kokoh Rutledge. Respons cepat diterima sebuah rengkuh lebih erat, Taehyung menekankan tubuh mereka terlalu tanpa jarak. Keras, Jina merasakannya. Darahnya berdesir bagai ditiupi gairah. Kemudian Rutledge mengangkatnya, memberi simbol untuk gim mereka berlanjut. Ia diletakkan di atas kasur dan ditindih. Pakaian masih utuh untuk leluasa terima sentuhan. Tangan-tangan Rutledge secara ahli menyelinap. Tidak akan ada malam lain, begitu yang dipikirkannya membuat responsnya sendiri lebih melibatkan hati.
“Kumohon, sentuh aku lebih banyak ....” Taehyung merealisasikannya tanpa berniat menolak. Jina masih terasa selembut ketika pertama kali dirasakan. Dadanya membusung terlalu responsif. Dan suara-suara mengicau seperti alunan pemancing gairah lebih membumbung. Ia telah merasakan Jina beberapa kali, tetapi rasanya selalu seperti yang pertama.
Kemudian kala disadari bahwa pipi Jina basah, jantung Rutledge berdentum lebih keras. Kim Jina menangis, dan ia merasa bagai bajingan paling buruk. Perempuan ini sejak awal banyak memperlihatkan keteguhannya, berusaha menyembunyikan ketakutan, menumpas kekecewaan dan justru terima untuk bekerja sama dengan seseorang yang membuatnya celaka. Perlahan-lahan Rutledge menyingkirkan helai-helai rambut yang menempel di wajah sembab Jina. Mengelusnya berisi makna.
“Kau akan melakukan apa pun untukku.”
Mendengar sesuatu yang begitu ditegaskan dari Rutledge, tetapi Jina sudah memutuskan bahwa ia akan pergi. Ia tidak mungkin memenuhi perkataannya sendiri itu. Bahwa Kim Jina akan pergi, dan itu mungkin untuk selamanya. Ia berpikir, sedikit kemungkinannya untuk kembali bertemu Rutledge, atau itu tidak akan pernah terjadi lagi.
“Kau berubah?”
“Tidak. Aku masih tetap sekeji itu, Sayang. Aku memaksamu.”
Dengan keinginan maksimal Jina di bawah kungkungan memberi pelukan, menarik napas dalam-dalam untuk menghirup wewangian Rutledge yang khas, amat maskulin. Tangannya bergerak menyentuh bermaksud menghafal seperti apa rasa tubuh Taehyung Rutledge di tangannya. Yang barangkali tidak akan pernah lagi bisa ia cicipi.
Rutledge masih tidak tahu inti yang membuat Jina menitikkan air mata, hanya lalu ia meregangkan mengambil sedikit jarak untuk bisa kembali memberikan ciuman. Sementara ia biarkan Jina menjelajahi tubuhnya, dan tangan perempuan tersebut mulai melonggarkan satu-satunya kain, hingga jubah itu akhirnya tersingkir. Taehyung tidak segera mengimitasinya untuk diaplikasikan kepada perempuan itu, dan tangan bergerak lincah kendati terhalangi sisa kain Jina. Lenguh mereka keluar bergantian, seirama dan terdengar padu. Ia terlalu ingin untuk menunjukkan rasanya bisa menikmati Jina, berlama-lama. Sejak awal ia masih sanggup mengendalikan hasrat, tetapi hilang segera begitu mereka melakukan penyatuan yang pertama kali.
Rutledge menarik turun kain penutup privatnya Jina, tanpa berniat lebih melepaskan baju utama, hanya menyingkapnya sampai bagian perut. Dirinya sedikit turun, menjelajah di area dalam paha, memberi sentuhan yang timbulkan respons-respons kelesah nikmat bagi Jina.
Jemari Rutledge terlalu ahli berkelana, dengan langkah-langkah diperhitungkan. Hingga jejak sentuhannya terasa memabukkan. Terkadang hanya dengan ujung-ujung jemari, lalu telapak tangannya, membuat kontak fisik yang nyaris brutal. Dan ciumannya berangsur; di pipi, ke telinga, beralih pada garis rahang, menemui bibir sebelum lantas menurun lewati kerongkongan untuk sampai di ceruk lembut di atas tulang belikat. Kemudian dadanya yang juga menanti temukan tekanan basah dari bibir pria tersebut.
Dalam kondisi masih berpakaian membuat sensasinya terasa lain. Frustrasi, ia berusaha menyingkirkan pakaiannya sendiri setelah mendorong lembut Rutledge dari atasnya. Namun pria tersebut menahannya.
“Rutledge.”
“Tidak olehmu, Sayang.” Kain bagian dada Jina telah basah. Rutledge belum menyingkir dari sana. Sampai kemudian ia kembali ke bawah. Menyelinapkan jari, memberi permainan sebentar. Sebelum lalu ciumannya ke atas perut sembari menyingkirkan pakaian Jina perlahan. Bibir Taehyung kembali menemui bentuk kewanitaan Jina yang dibusungkan, dan kali ini terasa jauh nikmatnya tanpa lagi dihalangi apa pun. Ia mengecupnya, membelai, tak tahan untuk tidak menyesapnya kemudian.
“Kumohon, kumohon, kumohon .... Rutledge, biarkan aku mendapatkanmu sekarang.” Racauan Jina timbulkan sengatan luar biasa, sehingga rasanya ia ingin menggoda lebih banyak, jika saja ia sendiri sanggup bertahan untuk tidak segera membuat penyatuan mereka dipercepat.
“Tenanglah.” Namun ketenangan Jina telah runtuh, ia begitu mendamba.
Tubuhnya sendiri terlalu panas. Ia menyentuh Jina lagi sebelum meninggalkan sama sekali. Membiarkan perempuannya menjerit tidak terima, dengan suara lirih melengking. Panggulnya terangkat dan ia gemetar karena gelombang nikmat yang mendadak hilang.
“Kau akan menjadi milikku.” Suara Rutledge terdengar parau, tetapi Jina bahkan tidak lagi sanggup memberikan jawaban selain dengan mengangguk. Yang mungkin itu sebuah kebohongan. Dan siapa peduli untuk sekarang?
Merasa Rutledge memberinya peluang, ia menyingkirkan sendiri baju lewat kepala, ketika pria itu juga mempersiapkan diri. Lantas ia mendekatkan sentral mereka, menggoda sebelum kemudian Rutledge mendorong, menekan tubuh sampai Jina dapat merasakannya terlalu dalam. Pernapasannya seketika tersekat, Rutledge mendiamkan sementara memberi Jina peluang memperbaiki posisi. Pergerakan yang dimulai terasa ringan sebelum berubah menjadi menggilakan.
Rutledge menggeram seiring gerakannya sendiri yang memimpin menimbulkan dampak luar biasa. Kendali dirinya perlahan mengendur, dan ia hanya mengandalkan institusi. Seraya mencengkeram pinggang Jina ia membawanya memutar. “Jina, Kim Jina ....” Rutledge tegang dan meregang di bawah Jina. Perempuannya kemudian dituntunkan untuk berpartisipasi, sebelum beberapa waktu kemudian ia menggulingkannya dan kembali memimpin.
Pernapasan mereka membaur padu, panas di tengah ruangan berpendingin yang nyala. Sementara Jina mulai lupa pada apa pun yang menggundahkan hatinya, kondisi ini membuatnya lolos. Rutledge berhasil bila tujuannya untuk membuat Jina merasakan hal luar biasa bahkan daripada sebelum. Ia mulai menangis lagi, tetapi kali ini tanpa disadari. Hatinya terlalu hanyut, ia terlalu tidak ingin menyadari perasaan yang ternyata mungkin menentang keputusannya sendiri. Kim Jina seolah tidak ingin pergi. Namun kepercayaan, bahwa ini pun bukan tempatnya. Rutledge dan pengakuannya saja tidak akan cukup. Tujuannya tetap tinggal adalah untuk bisa bergabung dalam rencana mereka. Dan pria ini telah mengubah jalur mereka hanya untuk sesuatu yang bahkan Jina sendiri sangkal, tidak, tidak, kebenarannya mereka berdualah yang sama-sama menyangkalnya. Atau sesuatu yang mungkin itu memang tidak pernah terjadi, bahwa mereka sebenarnya sama-sama telah jatuh. Karena bisa jadi mereka hanya terlena oleh situasi. Taehyung Rutledge terlalu sangkal bisa jatuh cinta kepada Kim Jina.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐑𝐆𝐄𝐓 ✓
FanficKecelakaan tidak merenggut nyawanya melainkan identitas. Kim Jina bukan seorang baik hati hingga tidak turut menuai keuntungan atas kesalahan fatal Taehyung Rutledge; yang mengubah wajah Jina menjadi serupa Jane Fletcher. Namun, fakta bila keterliba...