01. Perkenalan

1.8K 230 31
                                    

"Bagaimana? Kamu suka rumah baru kita? Di halaman belakang ada taman bunga kecil, Papa tau kamu suka berkebun." Tuan Romero tersenyum bangga saat memandangi suasana ruang tamu yang dipenuhi oleh perabotan bernuansa klasik. Tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman untuk ditinggali keluarga kecil.

"... seperti rumah tua," sahut seorang gadis enam belas tahunan dengan nada sinis. Ekspresi wajahnya menunjukkan tidak suka apapun.

"Rumah ini bekas rumah seorang dokter gigi, ada klinik di depan, jadi Papa bisa bekerja di rumah, tidak akan sibuk lagi kerja di luar. Selain itu, kamu tidak perlu jauh-jauh berangkat sekolah— SMA baru kamu ada di dekat sini, Papa sudah ngasih dokumennya 'kan? Sudah kamu baca belum?"

"Aku tidak mau sekolah di situ."

"Itu bukan opsi, Mira, jadi kamu tidak bisa memilih. Senin kamu mulai masuk di sekolah baru kamu."

Mimik wajah Mira makin tidak suka. Dia melirik sang ayah, lalu berkata keras, "berhenti sok ngatur hidupku! Papa tidak pernah peduli denganku atau mendiang mama sebelumnya— jangan tiba-tiba mengajakku pindah rumah, lalu sok peduli!"

"Oh, begini caramu bicara sama Papa, hah?!"

"Papa pikir dengan mengajakku pindah rumah, aku bakalan lupa perbuatan Papa?"

"Jangan berkata keras sama Papa! Papa sudah berusaha agar kita mulai hidup baru di sini, oke?!" Suara Tuan Romero juga meninggi, tapi dia masih berusaha menahan emosi.

Pria empat puluh tahunan itu hendak menyentuh rambut Mira, ingin menenangkannya— tapi gadis itu keburu menyingkir.

Dengan kedua mata yang mulai sembab oleh air mata, Mira menegaskan, "aku tidak mau pindah ke sini, aku tidak mau sekolah, aku tidak mau apapun dari Papa! Aku cuma mau Mama kembali!"

"Jangan kayak anak kecil kamu! Mama kamu itu sekarang sudah mati. Dia sudah meninggalkan kita!" Tuan Romero menjadi garang karena tersulut emosi dengan tingkah anak remajanya itu. Dia membentak, "paham?!"

"Aku benci Papa!"

"MIRA!" teriak Tuan Romero sembari mengangkat tangan, nyaris menampar ke pipi sang anak— beruntung masih bisa ditahan.

Napas Mira tersentak. Tubuh mematung dengan pundak gemetar. Mulut terkatup rapat, tak berani berkata apapun.

Antara ketakutan, marah dan juga sedih. Untuk pertama kali, dia melihat amarah memenuhi wajah sang ayah.

Tiba-tiba, ketegangan di antara mereka mereda akibat suara bel rumah berbunyi— dan perhatian Tuan Romero pun teralihkan.

Pria itu mencengkram lengan Mira, diseret masuk ke dalam rumah, lalu naik ke anak tangga sambil berkata, "kamu Papa kurung di kamar sampai makan malam nanti, jadi kamu sebaiknya mikir kesalahan kamu. Jangan bicara kasar. Papa harap nanti kamu sadar perbuatan kamu barusan, lalu minta maaf sama Papa."

Mira meringis kesakitan— cengkraman tangan ayahnya agak menyakitkan. Dia tak mengatakan apapun, terlalu takut sekaligus marah.

Tuan Romero membuka pintu satu-satunya kamar tidur di lantai atas. Dia mendorong Mira masuk ke dalam situ.

Sebelum pintunya ditutup, dia berpesan, "ini kamar kamu. Kamu bersihkan, kopermu sudah ada di dalam. Papa mau sebelum makan malam, semuanya sudah beres."

Tanpa menunggu jawaban, pria itu menutup pintu dengan bantingan agak keras. Setelahnya, terdengar suara klik— yang menandakan kalau pintu sudah terkunci.

"Pa?!" Mira lantas memegangi kenop pintu, memutarnya, dan memang benar sudah terkunci rapat. Dia berteriak kencang, "Papa serius ngunci aku di sini? Jangan dikunci segala, PA! PAPA!"

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang