07. Ancaman

650 108 47
                                    

"PAPA!"

Suara Mira makin histeris saat sampai di ruang tengah. Dia tak berani menoleh, karena tahu langkah kaki Vano sudah terdengar jelas.

Di belakang, Vano berseru, "Miel! Jangan lari dulu! Dengarkan aku!"

Langkah kaki Mira makin kencang.

Akan tetapi, Vano berhasil mengejar, lalu mengulurkan tangan ke depan, dan berhasil menyentuh pundak Mira. Dia paksa gadis itu untuk berbalik badan. "Hei!"

"AH!" Mira panik melihat Vano di depan mata. Tengkuknya merinding seketika. Dia mundur cepat, bersiap lari lagi. "Ja-jangan menyentuhku!"

"Oke, oke ..." Vano sengaja mundur agar menjaga jarak dengan Mira. Dia ingin menunjukkan kalau tak ada niat buruk. "Tenang, Sayang, ada apa denganmu? Tidak usah panik begini ..."

Mira mundur selangkah.

"Dengarkan dulu ..." Suara Vano menjadi lebih lembut. Dia merayu, "aku minta maaf, aku harusnya tidak berteriak tadi, aku bukannya marah sama kamu, tolong jangan takut."

Dengan pundak agak gemetar, Mira menoleh ke belakang, berpikir— apa yang harus dilakukan?

Berbalik badan, lalu lari lagi ke pintu depan rumah? Tapi, Vano ada di depan mata.

"A-Aku ti-tidak mau ke manapun," katanya terbata-bata sembari terus mundur, bersiap melarikan diri.

Otot wajah Vano menegang. Dia benci pandangan Mira saat ini. Tetapi, dia berusaha menahan diri agar tidak emosi. Dia membujuk, "Sayang, aku menyerah, kita tidak akan ke manapun. Tolong jangan menatapku seolah aku akan menculik kamu. Tidak. Aku kekasih kamu, loh. Aku tidak mungkin berniat jahat sama kamu."

Mendadak, ada suara langkah kaki mendekat, Mira spontan menoleh— dia yakin itu sang ayah.

Tetapi, sebelum dia bersuara, Vano keburu menyambar lengan gadis itu sambil membungkam mulutnya, lalu diseret mundur.

Kedua mata Mira terbelalak. Dia kaget, tidak mengira akan diperlakukan seperti ini oleh Vano. Padahal laki-laki itu barusan berkata manis, kenapa sekarang kasar lagi?

Dia kembali panik, mencoba memberontak, tapi Vano tetap menyeretnya mundur hingga diajak masuk ke kamar mandi dekat dapur.

"Mmm!" Mira berusaha bersuara, tapi tak sanggup melawan kekuatan tangan Vano. "Mmmm!!!"

"Shshsh," desis Vano lirih saat menutup pintu kamar mandi. Lalu, dia menahan tubuh Mira di tembok, masih membungkam mulutnya. "Diam sebentar, Sayang."

Detak jantung Mira berdebar kencang. Dia heran. Kenapa Vano seolah tahu letak ruangan-ruangan? Apa dia dulu sering menyelinap di rumah ini sebelum ditempati olehnya dan sang ayah?

"Jangan melawan apalagi bersuara ..." bisik Vano mendesak Mira dengan dadanya agar tidak bisa bergerak, tangan kiri masih membungkam mulut gadis itu, lalu tangan kanan mengambil botol kecil berisi cairan bening dari saku celana.

Terhimpit tembok dan tubuh Vano, Mira bahkan tak bisa menggerakkan tangan.

"Jika kamu berteriak minta tolong, aku akan memasukkan ini ke mulutmu ..." ancam Vano menunjukkan botol cairan misterius itu. "Ini racun."

Napas Mira tertahan. Rasa takut seolah mengalir ke seluruh sel-sel darah hingga sekujur tubuh terasa kaku.

"Racun ini akan membakar tenggorokan kamu sampai kamu tidak bisa bicara, lalu membunuhmu dalam beberapa menit. Aku tidak bercanda, Miel," tambah Vano dengan suara sangat lirih.

Usai mengatakan itu, barulah Vano melepas bungkamannya dari mulut Mira.

Mira melirik botol racun yang sudah di dekatkan ke wajahnya. Bibir gemetar ketika berkata lirih, "kamu ...kamu mau membunuhku?"

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang