02. Menyelinap

877 167 70
                                    

Tak terasa hampir satu jam Mira mengobrol santai dengan Vano. Waktu seolah lebih cepat berlalu.

Mira melirik ke jarum jam. Dia merasa sedikit resah, takut mendapat amukan sang ayah lagi karena belum membereskan barang-barang dari koper.

Dia berkata, "eh ... Vano, aku senang kita berkenalan, tapi kamu mending pulang dulu. Ini sudah lebih sejam kira ngobrol. Aku belum beres-beres kamar— barang-barangku juga masih di koper."

"Kamu mengusirku? Aku masih betah ngobrol sama kamu."

"Tapi nanti Papa bisa marah kalau tahu."

"Kamu takut sama papa kamu?"

"Takut sih ya takut, cuma yang paling penting, aku mana sudi diomeli terus."

"Kamu bilang benci sama papa kamu, buat apa kamu takut? Lawan, dong."

"Papa emosian, percuma juga aku ngomong apa saja, pasti kalah debat. Lagian, aku bukannya benci banget, dia tetap papaku, tapi ... ya ..." Mira sedih lagi karena teringat sang ibu. Dia susah memaafkan perselingkuhan ayahnya. "... pokoknya aku cuma kesal sama kelakuannya. Sekarang saja aku lagi dikurung, berlebihan banget 'kan?"

"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melawan. Papaku kelakuannya hampir mirip sama papa kamu. Untungnya dia jarang pulang, jadi aku hampir lupa wajahnya."

"Kamu kok santai gitu? Kamu kayak diabaikan sama papa kamu."

"Memang, tapi justru begini lebih baik 'kan?" Vano tertegun sesaat sembari tersenyum lebar, sama sekali tak merasa sedih. Dia melanjutkan, "aku bebas melakukan apapun tanpa aturan ini dan itu. Kamu mau bebas juga 'kan? Bebas dari Papa kamu?"

"Bebas?" ulang Mira sembari menoleh ke pintu yang dikunci. Entah mengapa, semakin lama mengobrol dengan Vano, otaknya semakin setuju dengan segala ucapannya. "Aku memang tak mengira Papa mengurungku, tapi ya sudahlah. Aku sadar kalau salah tadi karena membentak papa."

Tiba-tiba, Vano meraih telapak tangan Mira lagi. Dia mengelusnya dengan lembut sambil meyakinkan, "kamu tidak salah, bicara kasar sama orangtua mungkin terdengar salah, tapi kalau kamu itu tidak salah, Miel. Kamu begitu karena papa kamu yang keras, tidak tahu diri dan tukang selingkuh. Dia bahkan tidak menyesal sudah membuat mama kamu meninggal dunia. Jahat 'kan?"

Sekalipun masuk akal, omongan Vano agak provokatif, seolah-olah sedang menanamkan benih kebencian kepada sang ayah di hati Mira.

"Mmm—" Mira menarik tangannya secara halus. Dia masih belum nyaman kalau bersentuhan terus dengan Vano. "Iya, aku paham maksud kamu. Aku juga belum memaafkan Papa, tapi ya sudahlah, tidak usah dibahas."

"Kamu mau bahas apalagi?"

"Kan tadi aku sudah bilang, tolong kamu pulang saja. Aku mau beres-beres."

"Aku bantu gimana?"

"Mana bisa aku membiarkan laki-laki obrak-abrik barang pribadiku?"

Vano tertawa lirih. Dia pura-pura bodoh saat menggoda, "memangnya kenapa? Masa tidak boleh? Memangnya apa isi kopermu sampai tidak boleh aku pegang?"

"Celana dalam," sahut Mira cepat karena kesal. Tapi, kemudian wajahnya agak memerah karena malu. "Jangan tanya-tanya lagi!"

Tiba-tiba, suara 'klik' terdengar dari arah pintu. Terlihat jelas kalau kenop pintu tersebut sudah diputar— dan dibuka oleh Tuan Romero.

Dia terperanjat melihat Vano duduk di kursi, berhadapan dengan Mira yang duduk di tepian ranjang. "Pantas ada suara-suara dari tadi."

Mira buru-buru ingin menjelaskan, "Pa—"

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang