08. Takut?

617 107 37
                                    

Sejak apa yang terjadi di kamar mandi, perasaan Mira masih tidak enak. Dia masih berusaha mencari tahu jati diri siapa kekasihnya itu.

Hingga dua hari berlalu.

Ini adalah hari di mana dia dan sang ayah harus menjamu Nora Days dan ibunya untuk makan malam.

Di Tillestad High School terdapat aturan tidak tertulis yang mengharuskan anak-anak yang berseteru untuk menjalin hubungan baik di luar sekolah. Makan malam bersama keluarga adalah salah satu caranya.

Dari sore, Mira sibuk di dapur membuat jus buah dan menata makanan kering di toples.

Tuan Romero terdengar berseru dari depan, "Sayang! temanmu akan segera datang, cepat ke sini, ya~"

"Iya, Pa!" balas Mira sambil menutup toples kue kering, hendak dibawa ke ruang makan.

Akan tetapi, begitu berbalik badan— dia dikejutkan oleh Vano yang tahu-tahu sudah bersandar di tembok. Entah sejak kapan dia berdiri di situ sembari memandangi punggungnya.

"Vano?" Mira tegang. Detak jantungnya berdebar-debar. Sudah dua hari mereka tak bertemu. "Sejak kapan kamu ada di sini? Dan, bagaimana kamu bisa masuk ke rumah?"

Vano memberikan pandangan tajam kepada Mira. Dia berkata, "kamu meminta papa kamu buat ganti kunci pintu basement 'kan? Jadi, kamu pikir aku tidak akan bisa masuk ke rumah kamu lagi."

Itu kenyataan. Sejak kejadian itu, dia memberitahu sang ayah ada pintu yang harus diganti kuncinya. Namun, mustahil dia mengakui itu.

Dia mengelak, "tidak, Papa tahu sendiri karena sedang memeriksa sekitar rumah."

"Oh, Sayang, kamu itu terlalu polos, tidak cocok berbohong sama aku..." Vano terdengar seperti menyindir tapi juga kesal. Dia berjalan mendekat, memutari meja, hingga akhirnya berhenti tepat di hadapan Mira.

Mira mundur selangkah.

"Hei ..." Vano menyambar lengan Mira, menahannya agar tidak semakin jauh. "Ada apa? Sejak dua hari, kamu mengabaikanku? Kamu bahkan tidak membalas pesanku, kenapa? Kamu masih marah karena aku bercanda waktu itu?"

"Bercanda? Aku ketakutan!"

"Aku pikir masalahnya sudah selesai."

"Vano ... sebaiknya kamu pergi, sebentar lagi ada tamu, aku tidak bisa ..."

"Miel!" Vano menahan agar suaranya tidak keras. Dia menyentuh pipi gadis itu dengan begitu lembut dan posesif, lalu merayu, "aku minta maaf sudah mengancam kamu, marah-marah sama kamu, sudah membuatmu ketakutan, aku minta maaf. Apalagi yang harus aku lakukan? Sudah dua hari kamu dingin sama aku. Kamu mau apa? Akan aku lakukan ... tapi tolong jangan begini, jangan menjauhiku. Aku Sayang sama kamu ..."

Mira sedikit luluh dengan perkataan itu, terlebih lagi melihat pandangan mata Vano yang seperti tulus dan menyesal. Dia memalingkan pandangn sembari berkata lirih, "... pokoknya jangan begitu lagi."

"Jadi, kamu tidak akan mengusirku 'kan? Kamu tidak takut lagi sama aku?"

"Ti... Tidak." Mira agak ragu.

Vano tersenyum. Dia ingin meraih simpati Mira dengan berkata, "aku gampang panik, Miel. Aku kesepian sama seperti kamu. Mama sudah meninggal dunia, Papa tidak jelas ada di mana— maksudku, dia jarang pulang ke rumah. Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu, kekasihku yang tercinta. Jadi, aku takut kalau kamu meninggalkanku. Maafkan aku, aku memang berandal sialan."

Kali ini perkataan Vano sampai ke hati Mira. Dia sendiri juga kesepian. Selain anak tunggal, kondisi keluarganya juga sama seperti Vano.

Dia kembali memandangi Vano, lalu balas menyentuh pipi laki-laki itu. "Tolong jangan begitu, jangan menghina diri kamu sendiri."

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang