03. Taruhan

804 133 41
                                    

Ada yang bunuh diri di rumah ini? Apa ini alasan kenapa tadi di kamar dingin? Ada hantu lewat?

Mira menolak percaya. "Yang benar saja kamu, jangan bercanda!" Dia memperhatikan Vano yang malah asyik melihat foto berbingkai yang ada di samping tempat tidurnya. "Vano, dengarkan kalau aku bicara?!"

Bukannya menjawab, Vano malah fokus melihat foto antara Mira dan sang ibu sewaktu kelulusan sekolah dasar. "Ini kamu, Miel? Lucu banget ...imut."

"Kamu ini belum ada semenit masuk kamarku tapi sudah pegang-pegang barangku."

"Jangan galak-galak, dong— aku cuma mau lihat doang soalnya kamu waktu kecil imut."

Mira menahan diri agar tidak malu. Dia kembali ke topil, "jawab saja pertanyaanku barusan. Kamu dengar 'kan?"

"Beneran. Orangnya mati bunuh diri di loteng." Vano mendongak ke langit-langit kamar ini. Dengan nada ingin menakut-nakuti, dia melanjutkan,  "kalau tidak salah, loteng rumah ini tepat di atas kamar kamu— berarti dia mati di atas sana. Jangan heran kalau nanti kamu dengar ada suara berisik di atas~"

"Bohong 'kan?"

"Buat apa aku bohong? Dulu orangnya juga tetanggaku, jadi wajar aku tahu."

"Papa memang tidak percaya mistis, tapi harusnya dia nolak membeli rumah bekas orang mati. Tidak mungkin Papa mau beli kalau tahu ini."

"Mungkin karena rumah ini tidak laku-laku walau harga sudah terjun bebas, jadi pegawai real estate menutupinya dari papa kamu. Kalau masih belum percaya, cari saja informasinya di internet besok."

"Aku bingung harus bagaimana sekarang. Kalau memang benar, kayaknya besok aku harus bilang sama Papa."

"Kalian mau pindah lagi?"

"Kalau itu tidak mungkin."

"Terus?"

Mira menghela napas panjang. Dia merasa kalau sang ayah tidak akan menganggap ini serius. "Mmm... entahlah, orangnya juga sudah mati. Mungkin aku pindah kamar saja besok."

"Itu baru Miel-ku~ cantik dan pemberani," puji Vano sambil tersenyum lebar hingga deretan giginya tampak. "Tidak usah takut, ada aku. Hantu sekalipun tidak akan aku biarkan mengambil kamu dariku."

Dipanggil dengan akhiran -ku membuat Mira agak kaget sedikit. Tetapi, dia kembali cuek, menganggap itu gurauan.

Seraya mengambil kotak kartu poker dalam laci belajar, dia bertanya, "oh iya, aku agak heran kok tadi kamu bilang mau main poker seolah-olah tahu aku ini bisa main dan punya kartunya."

"Aku punya firasat kalau gadis tomboy sepertimu pasti bisa diajak main poker." Usai mengatakan itu, Vano duduk bersila di atas karpet, tepat di samping ranjang. "Ayo sini— aku kocok."

Mira duduk berhadapan dengan Vano, lalu menyerahkan kotak kartunya. "Ini seriusan kita main poker jam satu pagi?"

"Kenapa? Takut ngantuk karena bosan? Mau ada taruhannya biar seru? Kamu mau apa?"

"Aku tidak mau apa-apa."

"Bagaimana kalau ... misal aku yang kalah, kamu kencan sama aku, tapi kalau kamu yang kalah, kamu jadi pacarku."

"Apa?" Mira terbelalak.

Dia tak mengharapkan pembucaraan semacam ini di jam satu pagi. Otot wajah serasa tegang, pipi memerah. Baru kali ini, ada laki-laki yang memintanya jadi kekasih— tapi, masa iya gara-gara kalah poker?

Suaranya gagap kala bicara,  "Y-Yang benar sa-saja kamu ... Kamu bercandanya keterlaluan banget... dari tadi! Lagian, mau aku kalah atau menang, kok menguntungkan kamu semua?"

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang