06. Solusi

626 104 29
                                    

Vano duduk santai di sofa bekas ruang bawah tanah. Dia melihat Mira yang berdiri di depannya.

"Jadi intinya seperti itu, ada yang mau membully-ku di sekolah, dan saat aku melawan, dia mencakarku, itu alasan kenapa daguku terluka," kata Mira mengakhiri ceritanya.

"Tillestad ... bekas sekolahku dulu, memang banyak pembully di sana."

"Kan? Aku tidak mengerti. Kenapa menggangguku? Aku bahkan tidak melakukan apapun di sekolah. Aku hanya diam, tiba-tiba ada si pirang menyenggolku, dan malah menyuruhku minta maaf? Yang benar saja! Apa aku dibenci karena aku ini blasteran?"

"Sepertinya begitu, Sayang— populasi gadis pirang di sana hampir sembilan puluh persen, kamu jelas beda sendiri."

"Aku ingin mencekiknya."

"Lakukan saja."

"Lakukan?"

"Iya dong, cekik saja sampai mati."

Mira heran Vano bukannya menasehati lebih baik, malah terus mendukungnya berbuat jahat. Dia merespon, "Mmm... sepertinya tidak perlu, lagipula aku tidak mau disuruh menulis puisi berlembar-lembar."

"Oh, hukumannya itu? Berarti guru konselingnya masih Mr. Brown?"

"Iya."

"Dia suka sekali puisi, sementara aku benci puisi. Itu hukuman paling menyebalkan."

"Kamu sering dihukum?"

"Iya, waktu aku masih sekolah di sana, dari tahun pertama sampai tahun kedua— hari-hariku hanya menulis puisi."

"Eh?" Mira mengerutkan dahi. Dia jadi kepikiran ucapan sang ayah kalau Vano itu berandalan. "Berarti kamu nakal banget di sekolah dulu?"

"Bukan nakal, aku tidak pernah berbuat kesalahan, tapi banyak pembully tidak suka denganku, mereka sering memfitnahku, makanya aku sering dihukum." Vano tertunduk, memasang wajah sedih.

Mira mendekat, lalu duduk di sebelah Vano. Dia sempat bersin sesaat akibat debu di sofa tua itu yang menebar di udara.

Dia bertanya, "kamu dulu dibully di sekolah?"

"Iya, banyak pembully di Tillestad, itulah kenapa aku keluar dari sana, dan melanjutkan dengan home schooling," jawab Vano sembari mengangkat kepalanya lagi, lalu tersenyum kecil kepada Mira. Dia berusaha keras agar terlihat menyedihkan.

Mira iba melihatnya. "Aku pikir kamu dikeluarkan dari sekolah soalnya kamu berandalan seperti kata Papa."

"Mana mungkin, aku ini baik."

Tak ada jawaban.

Vano menyentuh pipi Mira, membelainya dengan penuh perasaan posesif. Sentuhan jarinya turun hingga ke plester di dagu. "Kamu jangan khawatir, Sayang— siapapun yang mengganggu kamu, akan aku balas. Mungkin mereka bisa membully-ku, tapi tidak akan aku biarkan, mereka mengganggu pacar tercintaku. "

"Balas bagaimana?"

"Rahasia, pokoknya aku jamin tidak ada orang yang bisa ganggu kamu lagi."

Vano masih membelai pipi Mira. Sentuhan jemari tangannya seolah memberikan bius memabukkan dalam tubuh gadis itu.

Dia mendekatkan wajah mereka, berniat untuk mendaratkan ciuman di bibir.

Degup jantung Mira menjadi tidak karuhan. Dia ingin menjauh, tidak siap untuk terlalu intim— tapi tengkuknya ditahan oleh tangan Vano agar tidak bergerak.

Tiba-tiba, panggilan keras terdengar, "MIRAA!!"

Suara itu mengejutkan mereka.

Mira spontan berdiri. Dia bingung, panik, dan bernapas cepat. Barusan itu begitu intens— hampir saja berciuman dengan Vano.

Manipulative BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang