"Lama tidak bertemu, kau semakin jelek saja Levi"
Suara dingin pria itu membuyarkan pikirannya. Gabriel termenung, menatap redup pedang dalam genggamannya. Pedang berhiaskan kepala singa itu tampak melahap habis jiwanya. Entah berapa ribu kepala yang membuktikan ketajamannya.
"Kukira kita tidak sedekat itu" Gabriel menoleh.
"Apa?" Tanyanya bingung.
"Sudah lama sejak seseorang memanggilku begitu" Ia tersenyum.
"Tapi itu namamu, kau tahu? Jangan artikan sebagai kedekatan"
Ia menyimpan kembali pedang itu ke pinggangnya. Malam semakin larut dan bulan sudah mengukuhkan takhtanya dalam luasnya langit.
Di antara bintang-bintang, bersinar bagai cahaya tunggal. menarik seluruh perhatian pada dirinya. Persis seperti dirinya selama ini.
"Kau yakin tidak mau membantuku? Aku mengharapkan bantuanmu. Agaknya cukup berguna"
Michael tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. Di tatapnya bulan itu, lalu tertawa sumbang.
"Aku menanti kehancuranmu, Levi! Tak ada musuh yang saling membantu"
Senyumannya kini berubah, lebih mirip sebuah ejekan. Meski begitu Gabriel tahu Huang yang dikenalnya tidak seperti itu. Itu hanyalah gambaran dari sosok baru yang mengisi jiwanya. Gambaran sempurna dari seorang yang mendambakan kehancurannya, Michael.
"Kita bukan musuh, Huang."
Michael mengintip dari balik tudung jubahnya. Entah mengapa melihat Gabriel yang seperti ini membuatnya merasa sedih. Benar, laki-laki itu menyedihkan. Tanpa dia sadari ternyata Gabriel tumbuh menjadi seseorang yang menyedihkan.
"Lalu apa? kita juga bukan teman. setidaknya, setelah apa yang terjadi"
Dia tersenyum kembali, tatapannya nanar pada wajah Gabriel.
"Kita... Kau, Aku, dan Milan, Kita teman. Selalu seperti itu. Bahkan jika saat ini kita tak lagi berbicara."
Michael kini tertawa mengejek. Ekspresinya sulit dipahami, sesuatu yang menurut Gabriel sangat tidak sesuai untuk wajahnya.
"Kau salah jika berharap padaku, Levi. Tak ada bantuan yang akan kuberikan untukmu. Kau memang bukan musuhku. Tapi Dia ingin kita saling membenci. Karena jika kau hancur, aku sempurna."
"Seperti yang terjadi pada Milan..."
Gabriel menatap ke bawah. Dari tempatnya berdiri saat ini tak ada satupun yang tak mampu dilihatnya. Semuanya terlihat jelas, meski dalam temaramnya malam.
Jalanan koral di sekitar taman. Bunga petunia yang tumbuh sembarangan di halaman ruang pemujaan. Sulur-sulur tanaman yang mulai merambati gudang senjata. Kandang kuda yang dipenuhi kuda pilihan. Rangkaian mawar yang mulai membusuk di tanah pekuburan. Bahkan anak laki-laki rupawan yang sedang menangis di balik pohon birch raksasa mampu dilihatnya.
Semua itu yang membuatnya senang menghabiskan waktu di menara itu. Siapa sangka menara pengawas yang ditinggalkan tak terurus justru menjadi tempat favoritnya.
Mendengar apa yang dikatakannya membuat Michael mendengus kesal. Ratusan tahun telah berlalu sejak kejadian itu tapi ia masih mengingatnya dengan begitu jelas.
"Jangan membicarakannya. Dia tak ada hubungannya dengan kita. Pilihannya untuk mengikuti pembangkang itu"
Wajahnya menggelap, seolah menahan perasaan yang lama terpendam. Angin yang berdesir menyibak tudungnya, menampakkan wajah orientalnya yang tampan.
Mata sipitnya melirik kearah Gabriel. Seolah menilai sesuatu. bola matanya tampak sehitam malam, sedang kulitnya sepucat sinar rembulan. Bibirnya tipis berwarna merah muda. Alisnya tipis dan runcing, seolah diciptakan untuk menilai. Semuanya bersatu di wajah sedihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)
FantasySistem pemerintahan abadi yang telah membayangi Lunan selama ini mulai mendapat banyak kecaman. Banyak penguasa dan pemimpin yang merasa dirugikan oleh Tuhan palsu tersebut. Layaknya sebuah kultus raksasa, mereka memutar balikkan kenyataan. Memupuk...