Kakinya terus melangkah, menapaki tempat-tempat yang tak pernah dikenalnya. Ia sedikit beruntung karena peta pemberian Asher kurang lebih tepat. Tak ada keterangan apa pun pada peta itu, hanya gambar usang dan beberapa simbol.
Sebagian besar sudah ia namai-berdasarkan jawaban dari orang-orang yang ditemuinya. Tapi sebagian masih kosong tanpa nama. Kemarin pagi ia masih berada di puncak gunung, namun saat ini entah dimana ia berada.
Sebuah lembah, dingin dan gelap. Tapi ditumbuhi berbagai macam tumbuhan obat. Ia tidak ingat bagaimana caranya ia sampai di lembah itu. Seakan terjadi begitu saja.
Angin sejuk berhembus dari utara, menuntunnya ke sebuah air terjun. Airnya jatuh dengan lembut dari puncaknya yang tak terlihat. Berkumpul dalam telaga sejernih cermin. Di sekeliling telaga itu, bunga Anemone tumbuh dengan subur, berbagai macam warna. Menyebarkan harum yang menenangkan.
Agatha mengumpulkan ranting dan dedaunan kering. Menyusunnya di dekat batu besar di pinggir telaga. Setelah semua dirasa cukup, ia mulai membakarnya. Menghangatkan tempat yang akan menjadi peristirahatannya kali ini.
Air jernih telaga itu sepertinya telah menyedot seluruh perhatiannya. Agatha memasukkan kakinya ke dalam air, merasakan suhunya. Dingin. Tapi sudah beberapa hari ia tidak mandi. Dan saat melihat telaga itu, mustahil baginya menolak keinginan itu.
Agatha melepaskan jubahnya, melonggarkan tali yang mengikat pakaiannya. Dan perlahan, menanggalkan seluruh pakaiannya. Ia masuk ke dalam kolam itu, berendam dengan senang hati di air dingin itu.
Ingatannya melayang, mengingat semua tempat yang sudah dilewatinya. Sudah sepuluh hari sejak tempat peristirahatan terakhirnya. Sepuluh hari sejak tempat dengan nama terakhir di petanya. Sepuluh hari ia berjalan tanpa tahu tempat yang dilewatinya.
"Sudah sepuluh hari, entah tempat apa ini" Agatha menenggelamkan wajahnya ke dalam air, menyisakan kedua matanya yang tampak mengambang di air.
###Setelah menggunakan kembali pakaiannya, Agatha merasa sedikit lapar. Ia merogoh lipatan kain dari dalam ransel kulitnya. Dibukanya lipatan kain itu perlahan, menampakkan isinya. Beberapa bongkah keju yang baunya sangat menyengat, Roti gandum yang mulai berjamur, Dan empat potong ikan herring kering.
Tak ada satupun dari semua hal itu yang ingin dimakannya. Tapi pada akhirnya ia tetap harus memakan sesuatu. Tanpa mempedulikan rasanya, Agatha mengunyah roti itu. Teskturnya jauh dari kata lembut, hampir seperti batu. Tapi ia takkan menyia-nyiakan apa yang dimilikinya.
Setelah menghabiskan makanannya, Agatha minum dari telaga itu. Pada pantulan di air ia menyadari keadaannya. Agatha tersenyum menatap dirinya sendiri. Jika Clarence atau ayahnya melihatnya saat ini, mereka pasti merasa kasihan padanya.
Wajahnya kusam dan terlihat lelah. Rambutnya tergerai tak beraturan, bercabang dan patah. Matanya tak lagi jernih. Tubuhnya sendiri terlihat tak terurus. Tapi siapa yang peduli dengan semua itu? Yang terpenting baginya adalah fakta bahwa ia masih bernapas hingga saat ini.
Agatha terdiam memandangi bayangannya. Tangannya menggenggam belati miliknya. Perlahan belati itu dikeluarkan dari sarungnya. Sementara tangan kirinya menggenggam rambut panjangnya, tangan kanannya mulai mengayunkan belati itu.
Rambut emasnya berjatuhan lembut ke tanah. Menyisakan sedikit keindahannya di kepala gadis itu. Setelah semua selesai ia potong, Agatha menatap pantulannya lagi. Kini ia berambut pendek, hanya sebatas bahunya. Setidaknya ia bersyukur karena tak pernah memuji keindahan rambutnya sendiri.
Bagaimanapun juga, perubahan harus terjadi. Ia bukan lagi putri seorang Raja. Bukan Agatha yang dimanja seluruh negeri. Saat ini ia harus bertahan sendiri. Dalam gelap dan kesedihan. Dalam duka dan kebencian. Agatha harus bertahan dalam setiap perasaan yang berebut menguasai dirinya.
"Malam. Aku mengantuk"
Lalu, saat langit semakin meredup, Agatha merasakan kantuk membuai penglihatannya. Ia mendekat, menyandarkan tubuhnya pada batu. Yang terakhir diingatnya sebelum tertidur dan bermimpi adalah padang luas yang dipenuhi ilalang. Patung-patung batu tersembunyi dibaliknya.
Dengan mata kelabu yang dingin, menunggu dibangkitkan. Itu adalah makam batu keluarga lama. Bahkan mungkin setua keluarganya. Sesuatu yang wajar dimiliki oleh keluarga kuno. Semua yang terjadi bertahun-tahun silam, di masa kanak-kanaknya. Ingatan yang telah lama terpendam dan menghilang.
Tanpa ia sadari, sepasang mata mengawasinya dari balik rimbun pohon. Sebelum akhirnya menghilang dalam keremangan hutan.
###
Saat ia sudah terlelap, sesuatu tampak keluar dari dalam telaga. Menyembulkan kepalanya yang basah dan dingin. Sosok itu berjalan merangkak, menyentuh wajah Agatha. Ia mendesis, dan melenguh. Mengitari tubuh Agatha, menyentuh kakinya yang terbuka dengan tangan dinginnya. Lalu semacam pengharapan keluar dari bibirnya yang tertutup. Terdengar begitu menyedihkan.
Tak lama, sosok lain menghampirinya. Tiga makhluk merangkak, persis seperti yang pertama. Mereka menatap Agatha lapar, lalu dengan kecepatan yang tak terlihat, menyeretnya ke dasar kolam.
Agatha terbangun, matanya terasa perih di dalam air. Namun penglihatannya tetap sejernih di darat. Dia melihatnya, sosok-sosok yang terus menarik tubuhnya jauh ke dasar kolam. Mereka manusia, atau seperti itu yang terlihat. Pria dan wanita dalam pakaian berbagai macam jenis. Wajah mereka dingin dan pucat, seperti batu. Tatapan yang keluar dari matanya terasa begitu kosong dan hampa, seperti hantu.
Agatha menggerakkan tubuhnya, berusaha naik ke permukaan. Tangannya bergerak naik, kedua kakinya mengepak di dalam air. Namun, semakin dekat ia ke permukaan. Mereka menariknya kembali. Seolah tak ingin Agatha meninggalkan mereka. Wajah gadis itu memucat, ia hampir kehabisan udara. Agatha harus keluar, secepat mungkin.
Agatha menggerakkan tubuhnya dengan kuat, berenang jauh lebih cepat ke permukaan. Tangannya menyentuh tanah berumput, menekankan jari-jarinya kedalam tanah. Berusaha menarik tubuhnya keluar dari telaga itu. Namun, mereka bergerak jauh lebih cepat. Seakan takut kehilangan Agatha.
Agatha keluar dengan terburu-buru, berlari menjauh dari tepian kolam. Napasnya hampir habis, dadanya naik-turun mencari udara. Ada air di dalam tenggorokannya, dan itu membuatnya terbatuk-batuk dengan kesakitan.
Agatha menggenggam kayu yang terbakar di tangannya, dan mereka menjauh karenanya. Ia memakai jubahnya, menggendong ranselnya, berjalan menjauh dari tempat itu. Tubuhnya basah dan kedinginan. Air terus menetes dari ujung rambutnya.
"T-Tha..." Mereka menatapnya dari dalam kolam, berseru lirih. Memanggil namanya untuk berbalik.
Namun tanpa Agatha sadari, ketika ia berhasil keluar dari kolam itu rambut pirangnya telah lenyap seutuhnya. Digantikan dengan rambut yang sehitam malam tanpa bintang. Dan bahkan, beberapa kenangan yang tersimpan dalam ingatannya memudar dan menghilang.
Tapi ia belum menyadari hal itu.
"A...ga...tha.." Suaranya parau dan letih, juga terdengar begitu sedih dan tersiksa. Mereka terus memanggil dirinya yang semakin jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)
FantasySistem pemerintahan abadi yang telah membayangi Lunan selama ini mulai mendapat banyak kecaman. Banyak penguasa dan pemimpin yang merasa dirugikan oleh Tuhan palsu tersebut. Layaknya sebuah kultus raksasa, mereka memutar balikkan kenyataan. Memupuk...