Gabriel Levi

10 7 1
                                    

Soleil adalah kota astronomi tertua dan terbesar di seluruh wilayah Lunan. Terletak 1500 meter dari permukaan laut. Langitnya jernih bertabur bintang. Mayoritas penduduk bekerja sebagai pencatat naskah dan pelukis. Sedang dalam keseharian mereka habiskan di dalam dan di luar observatorium, mengamati bintang-bintang.

Levi lahir dan tumbuh di tempat yang seperti itu. Kedua orangtuanya adalah pelukis terkenal. Mereka hidup berkecukupan dan layak. Kehidupan yang menyenangkan, Keluarga yang membahagiakan.

Sampai gempa menimpa kota itu.

Setelah kejadian menyedihkan itu, Levi hidup seorang diri. Uang dan harta peninggalan orangtuanya perlahan menipis untuk mengobati penglihatannya yang semakin memburuk akibat gempa.

Masalah datang silih berganti dalam hidupnya. Kesehatannya mulai menurun dan hal itu menghabiskan sebagian besar harta peninggalan orangtuanya.

Sampai akhirnya tak ada lagi yang dimilikinya. Hidup dari Satu tangan ke tangan lainnya. Usianya genap 10 tahun saat itu.

Akhir hidupnya sudah sering melintas di kepalanya. Tak ada yang tersisa baginya. Wajahnya sendiri tampak begitu menyeramkan. Bahkan jika ia hidup sekalipun, tak akan lebih menguntungkan baginya.

Sampai ketika Utusan dari Sanctuary mendatangi Soleil.

Orangtuanya pernah menceritakan tempat itu padanya. Sanctuary, begitu mereka menyebutnya. Di sana tinggal orang-orang yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Kabarnya Tuhan sendiri turun ke bumi dan tinggal di tempat itu.

Para utusan Tuhan, tinggi semampai. Wajahnya rupawan. Suara mereka jernih dan menyenangkan. Sosok yang begitu sempurna. Dan jelas bukan seorang manusia.

Seperti mayoritas penduduk, keluarganya juga menganut agama kuno. menyembah dewa-dewa dan mempercayai legenda. Dan itu yang selama ini dipercayainya.

Namun, saat matanya melihat sendiri Utusan itu, Levi merasa tertarik. Pria itu sangat tinggi, dan wajahnya teramat tampan. Rambutnya semerah darah, bergerak lembut di mainkan angin. Kedua matanya selembut daun birch muda. Namun lebih dalam dari permata hijau manapun.

Dari atas kuda putihnya yang seanggun dirinya, Matanya menatap Levi. Ia terpaku, melihat sosok yang lebih indah dari setiap lukisan orangtuanya. Sehingga tanpa sadar ia sudah berjalan mendekati pria itu.

"kau seorang dewa?" bibirnya terbuka begitu saja. Melontarkan pertanyaan konyol yang memalukan.

pria itu tersenyum. Sebuah senyuman yang menenangkan. ia mendekatkan kudanya, menyentuh rambut kasar Levi. "Aku bukan dewa, anak kecil. Aku seorang malaikat. Pesuruh Tuhan"

"Berarti tuanmu seorang dewa. Kalau benar seperti itu, aku ingin bertemu tuanmu" Matanya basah, wajahnya memerah. Namun Levi tak peduli dengan itu. Ia terus menatap pria itu, mengharapkan sesuatu.

"Mengapa kau ingin bertemu dengannya?" Si pria menunduk, Menatap wajah Levi yang memerah.

Levi mengusap matanya, menghapus air mata yang menggenangi kelopak matanya. "Karena tuanmu tidak adil padaku. Dia membunuh orangtuaku" Ia menyedot ingusnya.

"Benarkah?" Tanya si pria, seakan tak percaya.

Levi tetap di posisinya. Terdiam mengamati udara kosong. Hampir ketika ia akan menjawab, pria itu kembali berujar.

"Kalau benar seperti itu. apa kau mau menceritakannya padaku?" Tanyanya lembut.

Setelah diam begitu lama, Levi mengangguk. Lalu, bersamaan dengan anggukan itu, si pria mengulurkan tangannya. Levi mengerti. Diraihnya uluran tangan si pria dengan tergesa. Naik ke atas kuda miliknya.

Pria itu memacu kudanya perlahan. Berjalan santai melewati barisan pondok kayu. Levi menceritakan semua yang mampu di ingatnya, dan si pria mendengarkan dengan serius.

Saat ceritanya memasuki akhir babak, di mana mereka bertemu di alun-alun kota, Si pria menyimpulkan dengan santai.
"Dari yang kudengar, kau yatim piatu?"

Pertanyaan yang dilontarkannya merupakan pernyataan tak langsung. Dan karena itu, Levi seakan enggan menjawabnya.

"itu... benar"

"Dan tak punya tempat tinggal. Kau hidup gelandangan, benar?"

"Seperti itu, tuan"

Levi tak mengerti mengapa pria itu menanyakan hal-hal sepele. Ia hanya diam, mengamati pohon-pohon yang berbaris sepanjang jalan. Tapi ketika ia sadar, mereka telah lama melewati gerbang kota.

"Kalau begitu tinggallah bersamaku. Kau akan hidup layak sebagai mestinya. Dan semua orang akan menghormatimu"

Panik. Hanya itu yang ia rasakan, karena ke mana pria itu akan membawanya pergi? Ia memang sebatang kara, gelandangan pula. Namun Soleil adalah rumahnya, tempatnya lahir dan di besarkan. Levi tak ingin pergi dari kota itu.

"Apa maksudnya, semua itu? aku tidak mengerti" Ia bertanya, suaranya bergetar. Matanya menatap tanah, terlalu tinggi jika ia berniat meloncat dari kuda itu. Kedua tangannya tak berhenti bergerak, mencoba melepaskan diri.

"Tinggallah dan belajar menjadi seorang malaikat. Tuhanmu menyetujuinya"

"Aku tidak mau. Turunkan aku, Tuan!"

"Tak ada yang peduli denganmu, untuk apa kau bertahan di tempat ini?"

"Tak ada malaikat di dunia ini. Lepaskan, atau aku akan berteriak"

"Lakukan, panggil Dewamu itu. Maka kau akan tahu tak ada dewa di dunia ini. Kepercayaan sesat yang kalian anut."

Seolah tak terganggu dengan pergerakan Levi, Pria itu tetap melanjutkan perjalanannya. Dia bergeming, menutup telinganya dari penolakan.

" Tapi kami menyembah dewa-dewa. Tak ada malaikat seperti kalian. Berhenti berbohong!" Levi kembali meronta. Gerakannya jauh lebih lemah dari yang sebelumnya.

Namun tak seperti sebelumnya, ketika langkah kaki kuda semakin cepat dan ketika mereka semakin jauh dari Soleil, pada akhirnya Levi hanya berdiam diri. Pasrah pada akhir yang menunggunya.

"Maka pergi dan lihatlah"

Angin berhembus kencang bersama dengan langkah lebar kuda itu. Levi merapatkan tubuh kecilnya pada pria itu. Dirinya yang hanya anak kecil, tak mampu berpikir rumit. Saat ini, yang ia tahu, dirinya sudah menerima tawaran dari seorang utusan Tuhan.

Tawaran yang entah bagaimana, tak mampu ditolaknya.

###

Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang