"Dimulai dari Gabriel, Michael, Raphael, Uriel, Azrael, Barachiel, dan yang terakhir Zaphaniel. Mereka semua..."
Cyvon menggantung kalimatnya, mata biru pirusnya mengerjap dengan gerakan yang terkesan dibuat-buat. Menusuk kedalam lukisan berbingkai khrom yang mengilap tepat di atas ranjang milik Agatha.
"...Adalah penjahat"
Agatha duduk terdiam di atas ranjangnya, bibirnya terkatup rapat mendengarkan kuliah sore Cyvon yang terus berulang selama sebulan terakhir. Dia tetap mendengarkan, meski wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Namun, sekalipun mendengarkan matanya terus bergulir dari lukisan-dinding dimana lukisan itu di letakkan- lantai marmer beralaskan karpet tenun rumit(untuk menormalkan pendengarannya)-dan berakhir pada mata Cyvon yang menari-nari bersemangat.
Selalu seperti itu, selama satu bulan lamanya. Hingga akhirnya dia merasa bosan dan berniat menghentikan pembahasan itu hari ini. Dengan sebuah pertanyaan yang sudah lama ingin ia katakan.
"Dan kalau mereka adalah penjahat mengapa kau meletakkan lukisannya di kamarku?" Bulu mata emasnya terbuka menampilkan bola mata biru topaznya yang begitu jernih. Lengan kirinya terangkat, merapikan helaian rambut di sekitar wajahnya.
"Untuk memberi tahumu tentang sejarah yang tak akan di beritahu seorang pun di dunia ini. Agar kau mengingat dengan jelas penampilan mereka. Dan agar kau mengingat bahwa-"
Agatha menyela.
"Bahwa mereka yang menganggap diri mereka sebagai pemerintah abadi jelas-jelas hanyalah sekumpulan penipu yang menganggap diri mereka Tuhan dan para Malaikatnya. Bahwa Sistem pemerintahan abadi yang sudah berjalan selama ribuan tahun ini telah merugikan dan jelas membayangi Thessira dan kerajaan lainnya dalam lingkup daratan Lunan. Dan yang terakhir, Bahwa Thessira akan selamanya menolak mengakui keberadaan mereka"
Cyvon terdiam dengan bibir yang terkatup rapat, bingung dengan jawaban yang diberikan gadis itu.
"Bagaimana, aku benar kan?"
Benar-benar, tanpa satu kalimat yang hilang atau tidak sesuai. Cyvon tersenyum sendiri saat membayangkan wajah Agatha selama ini. Seolah-olah tidak mendengarkannya. Bahkan terkadang terlihat begitu acuh. Cyvon tak menyangka kalau gadis itu sebenarnya menyimak setiap penjelasannya.
"Yeah, kau seharusnya tidak merasa bangga Aggie. Karena semua itu wajib dimiliki oleh seorang penguasa" Cyvon mendekatkan wajahnya kearah gadis itu. Tersenyum dengan begitu puas.
"Kau tidak akan pernah bisa memimpin rakyatmu jika kepalamu tidak dilengkapi dengan otak yang cerdas Agatha sayang."
"Oh yeah, aku tahu itu. Otak cerdas, Wajah yang rupawan, tubuh ideal, bakat tanpa batas, dan apalagi? apa ada yang kulewatkan?"
Agatha memutar bola matanya, sebelum balas menatap wajah Cyvon. Kedua alisnya menukik tajam, menutup kesedihan yang terlihat di matanya. Pertanyaannya seolah bermaksud menyindir Cyvon, meski lebih terdengar seperti sebuah pernyataan akan kekurangannya.
"Bagaimana ya? Tapi tidak ada Raja ataupun Ratu yang berotak udang, bertubuh gemuk, berwajah jelek-Maksudku tidak rupawan, dan Tanpa bakat. Mereka adalah pujaan seluruh negeri, idola setiap anak, dan kekasih para dewa. Mereka harus sempurna."
Agatha menggigit bibir bawahnya, merasakan tekanan pada kalimat yang dilontarkan Cyvon. Perasaan yang sama seperti yang diberikan semua orang padanya.
Dia diam, memainkan jemarinya di atas pangkuan. Menarik napas dan membuangnya dengan perlahan, sebelum akhirnya membuka bibirnya.
"Aku... tidak suka...yang terakhir, karena aku... tidak sempurna" Agatha menunduk, suaranya terdengar begitu pelan. Hampir seperti tidak pernah terucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)
FantasiSistem pemerintahan abadi yang telah membayangi Lunan selama ini mulai mendapat banyak kecaman. Banyak penguasa dan pemimpin yang merasa dirugikan oleh Tuhan palsu tersebut. Layaknya sebuah kultus raksasa, mereka memutar balikkan kenyataan. Memupuk...