"Sebagai putri mahkota, kau mewarisi banyak hal. Ayah harap kau mampu menjaganya" Ia membuka sebuah kotak kayu, mengeluarkan sebuah kitab dari sana.
Kitab yang cukup besar, dengan sampul kulit yang teramat lusuh. Agatha menyentuhnya, jemarinya bergetar sedikit saat membuka sampulnya. Begitu nyata, kitab yang selama ini hanya didengar sebagai dongeng olehnya ada di hadapannya, dan ia menyentuhnya.
Sang Raja mengusap kepalanya, ia tersenyum melihat sikapnya yang begitu antusias pada kitab di hadapannya.
"Shahloins. Yang paling suci dari semua kitab. Ditulis Galen sang pembangun dalam pembuangan. Yang paling berharga, Jaga dengan hati-hati" Ia kembali mengusap kepala Agatha, membuat sang pemilik menoleh menatap wajahnya.
Pandangannya begitu teduh, Agatha tahu jelas apa yang berada di dipikiran ayahnya. Pasti seperti ini saat kakeknya menyerahkan Shahloins padanya dulu. Ayahnya pasti sangat bersemangat dan begitu senang pada hari penobatannya.
Agatha tersenyum, membayangkan penobatannya nanti. Empat belas hari lagi, maka statusnya akan berubah. Empat belas hari lagi maka Agatha dari Thessira akan menghilang. Berubah menurut kepercayaan, ia akan mendapatkan namanya sendiri ketika penobatannya nanti.
Ia membuka halaman pertama dari kitab itu, membacanya perlahan. Meski sebagian besar telah memudar atau berubah warna, ia mampu membacanya. Di sana tertulis nama setiap penguasa di daratan Lunan. Dengan Galen dari Thessira yang berada di awal halaman.
"Disebut Kitab Raja-Raja bukan tanpa alasan. Dahulu, Saat semua yang berada di daratan Lunan saling percaya, mereka membentuk Dewan Lunan. Terdiri dari setiap penguasa dan pewarisnya. Galen adalah pendirinya" Sang Raja menjelaskan.
Benar, yang disentuhnya saat ini adalah buku pertama dari kumpulan kitab itu. Hanya berisi tentang penguasa dan wilayah kekuasaannya. Tak lebih dari itu, tapi Agatha tetap bersemangat membacanya.
Sang Raja menutup jendela, matahari sudah tenggelam separuhnya. Angin berhembus masuk tepat ketika jendela ditutup. Menyibak rambut pirang Agatha yang tergerai. Ia menoleh, menatap sekelilingnya. Ruangan ini, adalah tempat dimana Galen si Pembangun menyelesaikan Shahloins.
Dan sesuai tradisi yang selama ini berlangsung, setiap pemimpin akan menunjukkan kemampuan terbaiknya dengan menulis ulang kitab tersebut. Dengan setiap pembaruan yang terjadi selama periode kekuasaannya. Seperti yang dilakukan ayahnya dulu.
"Dan apapun yang terjadi di setiap daerah Lunan. Tertulis di kitab ini. Diperbarui setiap dekade, kita tetap mengirim salinannya ke setiap penguasa yang pernah menjadi anggota Dewan Lunan. Sedangkan yang asli, tetap di tempat ini"
Mendengar apa yang dikatakan ayahnya, Agatha menutup lembaran kitab itu dengan perlahan. Ia terdiam beberapa saat, lalu mendongak menatap mata
"Aku tidak yakin mampu menjaganya" Ia berujar pelan, takut pada ekspresi yang akan ditunjukkan ayahnya.
Dan, benar saja. Alis pria itu meruncing, matanya menajam. Seolah menusuk Agatha hanya dengan pandangannya saat ini. Itu adalah ekspresi yang selalu ditunjukkan olehnya setiap kali Agatha mengucapkan keraguan akan kondisinya.
"Apa maksudmu, Agatha? Kau keturunan Lutarin. Penguasa para naga. Pewaris takhta agung Thessira." Suaranya terdengar begitu lantang. "Bahkan jika kedua matamu buta, tubuhmu cacat, dan kebisuan menguasaimu...." Ia menggantung kalimatnya, matanya masih menatap Agatha dengan tajam.
"...Kau selalu layak sebagai mestinya." Pandangannya melunak, suaranya merendah seakan tengah berbisik. Ia merangkul gadis itu, memeluknya dengan begitu erat.
Agatha mendongak, menatap mata biru ayahnya. Mata itu... Tampak begitu jernih dan menenangkan, tapi tak selembut mata ibunya. Agatha menggigit bibir bawahnya, perasaannya menjadi aneh. Seakan ia tak pernah melihat mata sang ayah.
"Tak ada naga di dunia ini, yah... Dan Lutarin sudah lama meninggal. Apa kita masih mengenang yang sudah tiada?" Agatha kembali diam setelah mengatakan pertanyaannya. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di dada ayahnya.
Ia bisa merasakannya, matanya menjadi hangat secara perlahan. Dan perasaan aneh yang muncul saat menatap mata sang ayah makin menjadi. Agatha rasa, mungkin ia hanya merindukan orangtuanya. Ayahnya memang jarang bersamanya, tapi akhir-akhir ini... terutama setelah penentuan pergantian kekuasaan, ia jadi begitu sibuk.
Dan hal itu membuat semuanya menjadi runyam. Tak ada sosok ibu yang akan menghiburnya di saat ia sedih. Dan tak ada waktu yang bisa diluangkan ayahnya untuk mengobrol dengannya. Agatha memeluk ayahnya semakin erat, sepertinya ia akan menangis. "Ayah bahkan tak pernah menceritakan ibuku"
Aleksei mengelus kepalanya, ia merasakan kemejanya menjadi basah. Dan itu berarti satu hal, Agatha menangis. Gadis itu mengeratkan pelukannya, meredam suara tangisnya yang perlahan keluar dari bibirnya.
Aleksei mengecup kepalanya, tangannya membalas pelukan erat yang diberikan putrinya. Ia menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan.
"Ayah rasa, kau hanya belum mengerti" Ucapnya lembut.
###
"Aku merindukan mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?" Ia memeluk tubuhnya sendiri.
Dingin.
Cuaca malam ini cukup dingin. Angin yang berhembus dari Utara seakan menegaskan posisinya sebagai negeri salju. Menyebarkan hawa dingin ke seluruh daratan Lunan. Agatha ingat ayahnya sering membicarakan negeri itu. Negeri dengan wilayah terdingin di seluruh daratan Lunan.
Fistost, begitu ia dikenal. Di masa lalu, Thessira memiliki hubungan yang cukup erat dengannya. Tapi karena beberapa dekade terakhir Thessira berubah menjadi negara yang digdaya, sepertinya hubungan diplomatik antar negeri semakin berkurang. Termasuk dengan Fistost.
Tapi saat ini, saat ia sendiri terbuang dari negerinya, Fistost salah satu pilihan yang tepat bagi pengukuhan kekuasaannya. Cepat atau lambat, mereka akan membantunya kembali ke Balairung biru miliknya.
Namun masalah terbesarnya bukan hal itu. Bagaimana caranya mememukan Lucifer si pengkhianat? Orang itu sudah lama hilang kabar. Ratusan tahun berlalu sejak ia dinyatakan sebagai pengkhianat dan menjadi buronan.
Seperti mengejar bayangan bulan, menemukannya hampir mustahil dilakukan. Agatha sendiri tak yakin, apa orang itu masih hidup sampai saat ini.
Di kegelapan malam, sosoknya yang bersandar di bawah pohon terlihat begitu kecil. Memeluk dirinya sendiri, ia mencoba meneguhkan keyakinannya.
"Apapun yang terjadi, kuharap mereka selamat"
KAMU SEDANG MEMBACA
Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)
FantasySistem pemerintahan abadi yang telah membayangi Lunan selama ini mulai mendapat banyak kecaman. Banyak penguasa dan pemimpin yang merasa dirugikan oleh Tuhan palsu tersebut. Layaknya sebuah kultus raksasa, mereka memutar balikkan kenyataan. Memupuk...