Bimbang

21 8 1
                                    

  "Tak ada ucapan selamat jalan untukku?"

  Gadis itu berjalan perlahan, rambut panjangnya yang diikat melambai pada angin yang berdesir lemah. Ia mendekat, dengan senyuman yang terpatri di wajah manisnya. Tangannya terulur ke arah pria itu.

  "Kau ingin yang bagaimana, Hmm?" Michael menunduk sedikit, meraih tangan gadis itu, lalu mencium lembut tangannya.

  "Jika aku menginginkan sesuatu yang berbeda, apa kau akan memberikannya?"

  Mendengar hal itu membuat Michael tertawa. Hal apa di dunia ini yang tak akan diberikannya? Tak ada. Apa pun itu, selama Uriel yang mengatakannya, maka akan ia lakukan.

  "Kau bisa mengatakannya" Michael mengusap kepalanya, ia tersenyum begitu manis seraya menyelipkan helaian rambut yang tertiup angin.

  "Aku..."

  Uriel menggantung kalimatnya, matanya menatap dalam mata hitam pria itu. Begitu indah, sepekat dan segelap malam tanpa bintang. Uriel selalu menyukai mata itu. Mata yang selalu menunjukkan kesedihan dan mimpi yang terbakar. Entah kenapa, saat orang lain mengasihaninya Uriel malah merasakan yang sebaliknya.

  "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, setelah ini"

  Dia mencintai mata itu. Sorotnya, kegelapannya, ruang hampa yang tergambar di dalam pupilnya, kesedihan, bahkan frustasi yang terpancar keluar darinya. Uriel menyukai semua yang berhubungan dengannya. Bahkan sejak pertama mereka bertemu, hatinya telah mencintai keseluruhan pria itu.

  "Itu saja, yang lain?" Michael mengangkat sebelah alisnya, menyunggingkan sebuah senyuman yang menggoda.

  Dia diam, hanya memandangi wajah menawan pria itu. Tanpa kekurangan, Michael seakan menunjukkan bahwa dirinyalah wujud asli dari seorang malaikat. Dan meski semua yang tinggal di Sanctuary berparas rupawan, baginya Michael tetap yang paling tampan.

  "Kalau aku kembali hidup-hidup." Suaranya rendah, seperti mengucapkan sebuah permohonan. Mata hijau terangnya seakan menyala dibalik helaian rambut coklatnya. Uriel menggenggam tangannya, membawanya dekat dengan wajahnya sendiri. Ia tertawa kecil, meremas lembut tangan pria itu sebelum akhirnya mengecupnya dengan perlahan.

  Apa yang dilakukannya berhasil membuat Michael terdiam. Selalu, ia selalu melakukan sesuatu yang tak pernah mampu dia bayangkan. Michael sendiri tidak mengerti, bagaimana gadis itu bisa berakhir dengan cinta yang teramat untuknya. Tapi entah mengapa, ia tahu bahwa dirinya merasa nyaman dengan sikap tak terduga Uriel.

  Michael mengusap kepalanya, ia kembali tersenyum dan berkata. "Tentu saja kau akan kembali, seperti yang selalu terjadi"

  Lagi, tanpa ia sadari dirinya kembali tersenyum setelah mengatakan itu. Itu selalu diawali dan diakhiri dengan senyuman, bagaimana pun situasinya.  Seakan dirinya sudah terbiasa untuk menyunggingkan senyum jika berhadapan dengan gadis itu.

  Uriel menggelengkan kepalanya, ia suka sekali dengan senyuman Michael. Tidak, itu tidak benar. Ia suka semua yang berhubungan dengan pria itu. Semuanya, tanpa terkecuali. Bahkan hal kecil yang tampak tidak berguna, jika menyangkut dirinya Uriel pasti menyukainya.

  Seperti bagaimana matanya terbuka untuk menatap dunia. Begitu sederhana, namun membuatnya jatuh semakin dalam.

  Michael tak pernah menyembunyikan perasaannya, ia selalu menampakkannya melalui binar matanya. Meski sepanjang waktu yang bisa dilihat di dalam matanya hanyalah kesedihan, Uriel tetap menyukainya. Terasa begitu dingin dan tidak nyata. Seakan dirinya hanyalah tubuh dengan jiwa yang telah lama mati.

  Namun sekali lagi, Uriel tetap menyukainya. Apa salahnya jika jiwanya telah lama mati? Uriel akan menjadi jiwanya. Mengisinya kembali dengan kehidupan, dan hidup dalam keabadian bersama-sama.

  "Bagaimana dengannya?" Michael bertanya dengan suara rendah, seolah  ia tak ingin ada yang mendengar ucapannya.

  Uriel menatap sekeliling, ia membuang napas asal dan kembali menatap mata hitamnya. Tak ada siapa pun, semua orang mempunyai kesibukannya sendiri. Dan hal itu seharusnya menjadi sesuatu yang mendebarkan jika dirinya tak harus pergi untuk ekspedisi.

  Ia mendecakkan lidahnya, semua jadi berantakan karena Gabriel terjebak dalam kelabilannya. Seharusnya ia tak pergi, tetap di Sanctuary bersama Michael. Membantunya menyalin perkamen, dan menghabiskan waktu bersama.

  Semuanya, tak berjalan sesuai keinginannya....

  ...Dan hal itu membuatnya kesal setengah mati. Kalau bisa ia ingin meninju wajahnya dan menendang selangkangannya....

  ....Hal itu pasti akan dia lakukan,  begitu ada kesempatan....

  "Tak ada perubahan. Aku hampir membenci temanmu"

  Tidak, ia tidak berbohong. Ia memang hampir membenci Gabriel....

Hampir.

  Tapi ia tak bisa melakukannya karena  Michael menyayangi temannya. Dan Uriel tidak boleh menjadi gadis yang buruk di matanya.

Tidak, hal itu tidak boleh terjadi.

  Ia tak bisa merusak jalan yang dengan susah payah dibuatnya. Hanya karena hal sepele, jangan sampai ia kehilangan kesempatan baik di hadapannya. Ia hanya perlu bersabar sedikit lebih lama. Setidaknya sampai Michael menyatakan perasaannya.

Dan sesulit apapun, ia akan bertahan.

  "Sebaiknya tidak" Michael mengemukakan pendapatnya. "Dia tidak seburuk itu, hanya sedikit... Sedih, kurasa"

  "Kalau saja dia tidak terjebak dalam kesedihannya, aku akan bersantai dan mengobrol denganmu" Sahut Uriel.

  "Seperti yang seharusnya terjadi...." Uriel menekuk kedua alisnya, masih merasa kesal pada kenyataan yang terjadi.

  "Kau bisa melakukannya nanti" Michael berusaha menghibur.

  "Ya, itu yang membuatku membencinya. Ekspedisi kali ini bagiannya, aku sudah minggu lalu." Uriel menjelaskan, wajahnya masih tertekuk.

  "Iya, aku tahu itu" Michael tersenyum melihat sikapnya, ia menoleh dan mendapati seorang pemuda berjalan mendekat ke arah mereka.

  Ia menuntun seekor kuda jantan yang gagah. Mengenakan zirah dan berjubah Kumal, ia menunduk di hadapan Uriel. Setelah beberapa menit mereka berbincang, pemuda itu berlalu. Uriel menghela napas asal, ia menatap wajah sendu Michael dan tertawa.

  "Sepertinya aku harus pergi" Ujarnya.

  Michael mengangguk. "Berhati-hatilah" Balasnya.

  Ia berjalan menjauh, meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum langkahnya terlalu jauh, ia melambaikan tangannya. Lalu berujar dengan suara  manis.

  "Jangan lupa, janjimu itu harus ditepati. Aku pergi"

                                    ###

                !!!VOTE, VOTE, VOTE!!!

   Jangan lupa Votenya guys....;}

Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang