Kekacauan

15 7 1
                                    

Bersamaan dengan kedatangan sang prajurit, wajah Sang Raja berubah pucat. Ia bangkit dengan tergesa dari kursi batunya. Matanya menerawang, memperkirakan seberapa buruk situasi yang terjadi.

Cyvon masuk dengan tergesa ke dalam ruang pemujaan. Ia mematung menatap prajurit itu. Kondisinya jauh lebih mengenaskan dari yang dilihatnya tadi.

Lalu, suara terompet terdengar nyaring jauh di luar. Bukan terompet biasa, gaungannya terdengar begitu keras. Seolah ditempa dari batu dan hal itu yang membuatnya gusar- hanya terompet perang yang berbunyi seperti itu-Kemudian suara ringkikan kuda terdengar begitu jelas. Seakan memenuhi halaman tempat itu dengan ringkikannya. Ringkikan dibalas dengan ringkikan, denting pedang saling bergema, ujung tombak menghantam perisai.

Bagaikan alarm alami, semua yang mendengar itu menjadi panik. Dan tak butuh waktu lama sampai kepanikan massal melanda seisi ruangan. Mereka berlari, menyelamatkan diri. Pergi bersembunyi di antara ruangan-ruangan rahasia yang sekiranya takkan diketahui.

"Apa yang..." Agatha terjebak di dalam kepanikan. Ia tetap diam tanpa bergerak sedikitpun. Gaunnya terinjak-injak, tubuhnya limbung akibat dorongan.

Demi apa pun yang hidup di dunia ini, Agatha tak pernah membayangkan kalau penobatannya jadi benar-benar meriah. Semua yang berhubungan dengannya selalu diawasi oleh sang ayah. Tak pernah sekali pun ia melihat situasi yang diluar kendali seperti ini.

Agatha hanya.... Merasa bingung. Meski otaknya dengan cepat memahami situasi yang terjadi, dia tak bisa mengucapkan sesuatu. Sementara kepanikan benar-benar melanda setiap orang, Agatha sama sekali tak bergerak. Ingin sekali rasanya ia berlari mencari sang ayah, Cyvon yang disayanginya, atau bahkan Asher yang telah mencuri hatinya.

Namun tak ada yang dilakukannya, dari tempatnya saat ini Agatha tetap diam. Matanya tampak berkaca-kaca, hendak menangis. Sang Raja-yang saat itu bersiap keluar dari tempat itu dengan pedang di tangannya- menoleh, mendapati putrinya yang tampak kebingungan dalam kepanikan yang menjeratnya.

"Cyvon! bawa Agatha ke tempat aman." Ia menoleh, dilihatnya pengantin itu berlari keluar dengan pedang di genggamannya.

"Hei, kau mau kemana?" Sang Raja berteriak kebingungan, arah tujuan mereka berbeda.

"Maaf, ada yang harus kulakukan. Ash, kau dengar kan?" Cyvon meninggalkan ruangan dengan cepat, menghilang begitu saja di koridor.

Asher menggenggam tangannya, jari mereka saling bertautan. Lalu dengan lembut ia memanggil gadis itu. "Agatha, ayo pergi."

Tapi Agatha tak membalas panggilannya. Gadis itu menoleh ke arah sang ayah, seakan menuntut penjelasan tentang apa yang terjadi.

"Ayah..." Agatha bergumam lirih, menatap mata biru itu.

Mata biru itu balas menatapnya, terlihat tua dan lelah. "Ayah harus pergi, Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Entah apa..."

Sang Raja terdiam, wajahnya sendiri dipenuhi lautan perasaan. Bukan hanya Agatha yang merasa bingung, tapi semua orang. Bahkan Sang Ayah sekalipun. Namun ia tidak boleh menunjukkan hal itu pada putrinya, pewarisnya jauh lebih lemah dari yang dikiranya. Saat mata mereka saling menatap, Sang Ayah tersenyum kepadanya.

"Tetap bersama Asher. Ayah akan kembali" Tanpa menoleh lagi, ia pergi. mencoba mengingat wajah gadis kecilnya. Sosoknya yang termangu tampak begitu kecil dan tak berdaya, putrinya yang belia dan minim pengalaman.

"Agatha..." Asher memanggil namanya, namun gadis itu tak bergeming sama sekali.

"Agatha..." Bahkan pada panggilan yang kedua kalinya, Agatha tetap tak menghiraukannya.

"Agatha! Apa yang kau pikirkan? Kita harus pergi" Pria itu menyentuh bahu terbuka Agatha. Namun gadis itu malah berjalan menjauh, melenggang pergi.

Agatha mendekat ke arah jendela kaca besar, menatap kejadian di bawahnya. Orang-orang yang berhamburan tak tentu arah, menarik perhatiannya. Kemudian datang para penunggang berbaju zirah. Menebas leher dan menembus jantung mereka yang berlari. Darah terciprat ke mana-mana.

Situasinya berubah dengan begitu cepat. Beberapa menit yang lalu mereka masih berbahagia. Namun saat ini, ketakutan dan keputusasaan dengan cepat menghiasi wajah mereka.

"Hei, Ash. Apa benar yang kulihat?" Gadis itu terdiam, ia tak mempercayai penglihatannya.

Seumur hidup ia tak pernah melihat adegan pembantaian langsung di depan matanya. Sudah banyak buku yang dibacanya-atau lukisan- yang menjelaskan tentang pembantaian dan perang kuno. Dengan cara-cara keji dan tak manusiawi. Namun, satu hal yang tak pernah hinggap di pikirannya...

"Jawab aku, Ash" Suaranya bergetar, ketakutan. Tangannya menggenggam tangan pria itu, mencari perlindungan.

....Satu hal yang tak pernah dikiranya akan terjadi....

"Apa yang harus kukatakan?" Asher menjawabnya perlahan. Ia balas genggaman gadis itu dengan begitu erat, seolah tak akan pernah ada hari esok bagi mereka.

... Bahwa ia tak pernah membayangkan dirinya terjebak dalam pembantaian itu. Tak pernah, selama ia hidup.

"Ayo, Agatha. Kita harus pergi" Asher berujar lembut di telinganya, mendekapnya, dan dengan lembut membalikkan tubuhnya membelakangi penampakkan tersebut.

Demonic Angel; Fate Under The Faith (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang