#13. Dunia Orang Dewasa

258 27 0
                                    

Sesuai janji Kidung pada Yama, malam itu Kidung menghubungi Pak Tirta sang CEO Sagacity agar beliau memberikan Yama cuti berobat sebulan, karena sejak awal bekerja sampai hari ini Yama tidak pernah ambil hak cutinya.

"Yama bilang dia masih bisa WFH (work from home), Om." Kidung membujuk paman Sekar itu. "Saya berani jamin cutinya Yama gak akan jadi masalah di kantor."

"Silakan," sahut Tirta ringan. "Tapi kenapa kamu yang minta izin sama Om? Kenapa bukan dia sendiri?"

"Dia kan anak buah saya, Om. Saya pemimpin Seksi Kreatif, jadi sebelum saya sampaikan ini ke Om, Yama sudah minta izin ke saya lebih dulu," terang Kidung.

"Well, alasan kamu bisa Om terima. Tapi biasanya, kalau Om harus tur lama begini, Sekar yang ACC permohonan cuti pegawai. Pokoknya selama Om gak ada di kantor, Sekar jadi CEO ad interim, makanya kamu harus minta izin Sekar juga."

"Baik, Om."

"Sekarang Om lagi directing film indie di Den Haag. Dulu kamu pernah tinggal di sini kan? Titip salam buat Bapak-Ibu kamu ya, Kidung."

"Ya, Om."

Setelah perbincangan dengan Tirta berakhir, Kidung mengesah panjang.

Dia menghubungi Tirta supaya tidak perlu berhadapan dengan Sekar. Namun beginilah dunia, tempat manusia diuji. Seringkali kita dipaksa menghadapi ketakutan terbesar kita.

Walaupun pernah tinggal di berbagai negara dan bertemu dengan bermacam orang, Kidung hanyalah manusia biasa yang merasa gugup apabila harus berurusan dengan orang-orang tertentu.

Bapak-Ibu Kidung, juga Sekar dan orang tua Sekar, adalah orang-orang yang membuat Kidung gugup. Bukan sekadar gugup, Kidung merasa sangat cemas sampai perutnya melintir setiap kali dia harus bertemu mereka.

Bagi Kidung, orang-orang tersebut mengisap energinya. Seperti Dementor di novel Harry Potter, mereka mengisap kebahagiaan dari jiwa Kidung.

Sejujurnya sejak kecil Kidung membenci orang tuanya. Mereka kaum elitis yang arogan dan hipokrit. Mereka senang adu polemik masalah politik bagaikan sekelompok pakar ilmu sosial, padahal nyatanya mereka pelit dan berpikiran dangkal.

Begitu pula keluarga Sekar yang sangat materialistis. Contohnya maminya Sekar, yang mengoleksi pakaian, sepatu dan tas bermerk dari luar negeri. Obsesi Mami adalah tampil paling "wah" di pesta sosialita.

Kidung bukanlah seseorang yang alergi terhadap kemapanan, tapi Kidung sebal melihat orang-orang yang membangga-banggakan pencapaian duniawi. Semisal kekayaan, prestasi akademis, dan jabatan. Seolah hal-hal itulah penentu baik-buruknya seorang manusia.

Kidung pun tidak menyukai orang-orang yang mengatakan bahwa berlimpahnya harta mereka merupakan hasil dari kemampuan dan usaha mereka sendiri, sehingga mereka berpendapat bahwa kemiskinan merupakan kesalahan si miskin.

Tidak mengherankan jika Kidung sempat menggandrungi pemikiran tokoh-tokoh sosialis-revolusioner. Usianya masih 13 tahun ketika Kidung mulai mengulik tentang paham tersebut. Dia bercita-cita menciptakan dunia baru yang tidak berkasta, tidak ada kesenjangan sosial, masyarakatnya bahu-membahu dalam menciptakan kesejahteraan kolektif.

Walaupun, tentu saja, Kidung segera menyadari betapa naif cita-cita heroiknya itu.

Pada akhirnya Kidung tak dapat membantah bahwa kapitalisme telah memajukan perekonomian global, termasuk di Bumi Pertiwi. Sudah merupakan hukum alam, yang kuat akan bertahan dan yang lebih kuat lagi akan maju. Di dunia ini, ada orang-orang yang tak bisa ditolong karena mereka tak mau menolong diri mereka sendiri. Ada pula orang-orang yang tak pantas ditolong karena mereka akan berkhianat setelah mendapatkan pertolongan.

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang