#14. Let Me be the One

206 31 2
                                    

Itu pekan yang berat bagi keduanya, yakni bagi Yama dan Kidung, penyebabnya sepanjang pekan itu ketegaran hati mereka sungguh sedang ditempa.

Di pagi ketika Yama hendak berangkat membawa Ibu ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan mental, Ibu tantrum beringas. Ibu marah-marah sambil banting-banting barang, lalu menangis meraung-raung. Lalu Ibu lari bertelanjang kaki meninggalkan rumah sambil membawa sebilah pisau, katanya ingin balas dendam pada mantan suaminya yang telah lama tiada.

Pak Eko satpam perumahan serta beberapa orang tetangga membantu Yama menyergap Ibu dan merebut pisau dari tangan Ibu.

"Jaya Supangaaat!" teriak Ibu penuh kebencian. "Aku kejar kamu sekalipun sampai neraka!"

"Ayah sudah meninggal, Bu!" seru Yama berlinang air mata.

"Dia cuma sembunyi!" Waham telah sepenuhnya membuta-tulikan Ibu. "Setiap hari Jaya mengintai kita! Dia mau aku tinggal di Klaten supaya aku jadi budak di rumah ibunya! Aku enggak mau! Aku perempuan terpelajar! Aku perempuan mandiri!"

Setelah itu Ibu terus meracau. Salah seorang tetangga menelepon polisi. Polisi pun tiba bersama ambulan dinas kesehatan. Polisi memborgol Ibu, lantas membubarkan kerumunan. Sementara petugas dinas kesehatan membius Ibu dan memasang jaket pengaman yang mengekang tubuh Ibu, kemudian membawa Ibu dan Yama ke rumah sakit.

Setelah Ibu bermalam di UGD, bertemu dengan psikiater dan minum obat penenang, Ibu pun setuju untuk melakukan tes kesehatan mental lengkap.

Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Ibu mengidap gangguan skizoafektif depresi, yang dicirikan Ibu mengalami psikosis (kondisi di mana seseorang tak bisa membedakan antara kenyataan dengan khayalan), juga gangguan suasana hati (mengalami depresi, mania, ataupun hipomania).

Namun, yang lebih mengejutkan selain gangguan jiwa itu, ditemukan tumor di otak Ibu dari beragam tes penunjang (CT scan dan MRI).

Itu tumor metastasis, artinya sel kanker telah menyebar dari tempat sel kanker itu muncul ke jaringan otak akibat terlambat ditangani. Tumor di otak sangat kecil sebesar kutil, mungkin karena itulah gejalanya tidak kentara. Tetapi, kanker Ibu bermula dari ovarium, dan saat ini kanker Ibu telah memasuki stadium IV.

Mendengar semua jargon kedokteran yang sangat memusingkan itu, Yama tahu dia harus bergegas mempelajarinya. Tetapi otak dan hati berbeda responnya.

Otak bilang, "Ayo lekas pelajari, lekas rencanakan tindakan!" Sementara hati yang telah lelah mendesis dengan pesimis, "Sudahlah, pasrahkan saja .... Apa yang bisa kita lakukan? Toh kita tidak punya uang!"

Setelah itu Yama merasa hampa, lemas dan malas. Asanya telah padam oleh nestapa. Tiada lagi yang berarti dari kehidupan ini.

Yama sungguh penat, diharapnya Pencabut Nyawa segera tiba. Sebuah pendapat ngawur menguasai dirinya, bahwa memang sebaiknya Yama tidak mengobati ibunya. Cepatlah Ibu mati — demikianlah Yama berdoa — supaya Ibu dapat beristirahat dalam ketenangan abadi.

Jadi, setelah lima hari Ibu di rumah sakit, Yama memutuskan untuk memulangkan Ibu.

Yama mengurungkan niatnya membereskan rumah, karena Yama tahu, rumah yang porak-poranda ini laksana surga dunia bagi Ibu. Yama persilakan Ibu menikmati sisa hidupnya dengan melakukan apapun yang membuatnya bahagia, walaupun menurut orang lain apa yang Ibu lakukan itu berbahaya.

Ah, peduli setan apa kata orang! Rumah busuk ini adalah Neverland!

***

Di pekan yang sama, Kidung dipaksa Sekar menemui orang tuanya. Kidung tahu apa yang hendak mereka bahas dalam pertemuan itu. Pasti orang tua Sekar berencana mendesak Kidung agar segera menikahi Sekar di pertemuan itu.

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang