#11. Di Kamar Yama

296 31 0
                                    

Rumah Yama berada di sebuah perumahan tua. Rumah satu lantai yang sederhana, mungkin tipe 100. Desain arsitektur rumah itu khas era 90-an.

"Terima kasih ... um ... atas tumpangannya," ucap Yama kikuk pada Kidung yang sedang mengamati rumah itu melalui jendela pengemudi.

Yama membuka sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil.

"Ma," tahan Kidung, "boleh aku mampir ke dalam?"

Sejenak Yama tertegun menatap Kidung.

"Tapi di dalam berantakan banget ...."

"Ma," desak Kidung. "Aku mau ketemu ibu kamu."

Yama tertegun lagi. 'Mungkin ... karena dia sudah berjanji akan membantuku minta izin cuti sama Pak Tirta ... Kidung mau memastikan dulu bahwa ibuku benar-benar sakit ....' Demikianlah Yama mengira.

Lantas Yama tarik napas panjang.

"Sakit ibuku bukan sakit biasa," katanya. "Ibuku sakit jiwa."

Mata Kidung mengerjap karena dia cukup terkejut.

"Aku cuma pengen menyapa beliau," ujar Kidung lembut seraya tersenyum.

Yama kembali terdiam memandang Kidung, namun akhirnya dia menyerah juga. "Okelah."

Kidung mengikuti Yama masuk ke dalam rumah. Yama tidak berdusta, isi rumahnya memang sangat berantakan dan berbau tidak sedap, kemungkinan dari sisa makanan yang telah membusuk. Kidung langsung tahu bahwa ibu Yama seorang penimbun barang.

Kidung pernah melihat kondisi rumah seorang penimbun (atau hoarder) di saluran tv asing, tetapi baru kali ini Kidung menyaksikannya langsung.

Para hoarder itu tidak bisa dihentikan menimbun barang, seolah mereka hendak mengubur diri di bawah timbunan. Dan apa yang mereka lakukan memang merupakan suatu gangguan jiwa. Mereka merasa sangat takut, dan bisa jadi histeris, jika mereka dipisahkan dari barang yang mereka miliki.

"Assalammu'alaikum, Bu," ucap Yama lembut sambil mendekati ibunya yang sedang berbaring menonton tv di sofa. "Yama bawa teman dari kantor nih, mau kenalan sama Ibu."

Seperti biasa, Ibu diam. Melirik Yama pun tidak. Ibu terus menatap layar tv dengan tatapan kosong.

"Bu." Yama mengusap kepala ibunya dengan penuh kasih. "Udah makan belum?"

"Hampir semua politisi itu psikopat." Tiba-tiba Ibu bersungut-sungut. "Negara ini memang sarang mafia. Semua kebijakan pemerintah itu bisa dibeli para pengusaha pakai duit rakyat. Negara ini bakal hancur diazab Allah karena pemerintah selalu menindas rakyat."

Yama melirik Kidung. Orang yang dilirik hanya tersenyum. Yama jadi bingung, sebab Kidung tidak mengatakan apapun.

"Bukannya kamu harus buruan balik ke kantor?" tanya Yama.

"Ada yang pengen aku obrolin sama kamu," jawab Kidung.

"Kalo gitu, ayo ngobrol di kamarku."

Ajakan Yama itu membuat Kidung tersentak. Bagaimanapun Kidung tidak menolak. Jantung Kidung berdebar cepat saat dia mengikuti Yama memasuki kamar perempuan itu.

Yama terpaksa membawa Kidung ke kamarnya, karena hanya di kamar itu Kidung dapat duduk dengan nyaman.

Begitu pintu kamar Yama dibuka, kamar itu sangatlah berbeda dari ruangan tengah yang tadi mereka lewati. Rasanya seperti memasuki dunia lain. Kamar itu bersih, terkesan agak kekanakan, namun menimbulkan ketenangan dalam jiwa.

Kamar Yama mengingatkan Kidung pada kamar remaja Jepang di anime-anime klasik yang pernah ditontonnya. Kamar yang rapi berperabotan sederhana. Nuansanya pun khas 90-an atau 2000-an awal, seolah isi kamar itu tidak pernah diganti sejak zaman Yama kecil.

Di kamar itu terdapat sebuah spring bed berukuran single, dengan sprai merah bercorak kartun. Di sebelahnya terdapat sebuah meja belajar jadul dari kayu, juga sebuah rak buku kecil empat tingkat yang dipenuhi buku komik. Pada dinding di depan meja belajar itu, terpatri sebuah papan di mana Yama menempelkan catatan kecil beraneka warna dan beberapa gambar referensi.

Yang paling menarik, di atas meja belajar Yama terdapat sebuah radio boombox, juga setumpuk kaset dan CD. Kidung melihat satu per satu kaset dan CD koleksi Yama itu. Lantas Kidung pun menyadari bahwa Yama penggemar musik rock dan metal.

Berada di kamar itu bagaikan menaiki mesin waktu, kembali ke masa SMA, ke hari-hari di mana Kidung diajak cabut dari sekolah dan main sampai malam di rumah teman.

"Keren banget. Koleksi manga Slam Dunk kamu lengkap. Aku juga suka banget manga-manga karya Takehiko Inoue," celetuk Kidung sambil berjongkok mengamati isi rak buku Yama. "Sayangnya dulu aku gak boleh beli buku komik sama bapakku."

Kidung menoleh dan menatap Yama.

"Kalo gak salah, dulu kamu pengen jadi komikus, Ma?" tanya Kidung.

Yama melipat tangan seraya mengangguk. "Ya, dan itu masih jadi cita-citaku."

"Itu juga cita-citaku." Kidung meringis. "Tapi dulu aku dilarang menggambar. Bapakku pernah mergokin aku gambar di buku tulis bekas. Bukuku langsung disobek-sobek dan dibakar, terus aku dikunci di kamar mandi sampai tengah malam, gak dikasih makan."

Yama tertegun. "Kamu lulusan seni rupa, kan?"

"Ya, itu setelah aku keluar dari empat universitas berbeda." Kidung berdiri dan berkacak pinggang. "Sebelum ngambil seni rupa, aku pernah ambil jurusan Sosiologi, Politik, Hubungan Internasional, Manajemen SDM. Sosiologi di Australia, Politik di Inggris, Hubungan Internasional di UGM, Manajemen SDM di Trisakti. Ujung-ujungnya wisuda di IKJ, dengan kondisi gue lagi mabok berat."

"Sombong." Yama berbisik mengumpat. "Dan lo bangga gitu, buang-buang duit bapak lo dengan di-DO dari empat universitas bagus?"

"Hm." Kidung mengangguk ringan. "Karena itu bukan pengalaman yang mudah dilalui. Itu masa yang sangat melelahkan, dan sangat menyakitkan. Aku babak belur secara fisik dan mental. Dan beneran aku hampir mati. Banyak yang harus aku korbankan demi menjadi mahasiswa seni rupa, salah satunya aku terpaksa setuju bertunangan dengan Sekar."

Yama terdiam menyimak.

Kidung melanjutkan ceritanya. "Semua orang bilang ke aku, lo sih enak, bapak lo kaya. Cobalah seminggu aja mereka jadi anak bapakku. Hidup sama bapakku itu kayak latihan debus, atau latihan jadi anggota Kopassus. Bapakku ngegebukin anak kayak ngegebukin maling. Waktu SD, dua gigiku copot karena ditempeleng Bapak pakai sepatu. Waktu SMP, aku gegar otak dan gendang telinga kiriku berdarah ditinju Bapak. Waktu SMA, aku hampir mati ditebas pedang Bapak, cuma gara-gara aku gak sengaja bikin mobilnya lecet."

"Jadi, kamu bayangin aja gimana ngamuknya bapakku pas aku di-DO."

"Pertama kali aku di-DO, Bapak menghajarku sampai aku masuk UGD. Padahal aku di-DO karena selama di Australia aku sering sakit akibat gerd dan insomnia. Makanya aku sering bolos," Kidung terkekeh. "Terus, aku pun sadar, bahwa apapun yang kulakukan pasti bakal kena hajar Bapak. Aku jadi anak yang patuh, masih juga dihajar. Jadi menurutmu, apakah aku salah, kalau akhirnya aku berontak dan aku lakukan apa yang paling aku inginkan?"

Cukup lama Yama membisu sebelum memberi jawaban. "Kalaupun itu salah ... well ... aku bakal tetap mendukung kamu," ucapnya sambil menghela napas berat.

"Why?"

"Karena kita teman."

Lantas kedua orang di kamar itu saling memandang dalam diam. Rasa malu datang belakangan. Yama sedikit memalingkan muka, sementara Kidung mendengus tertawa.

[Akhir Bab 11]

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang