#7. Rasa yang Terukir

234 37 1
                                    

Karena Yama tidak mau bicara, Kidung turut membisu.

Kidung menempati kursinya semula dan bersitatap dengan pantulan wajahnya di kaca jendela besar.

Lantas pria itu mengamati, langit sungguh pekat kelabunya. Sewarna polusi dan awan mendung. Semendung hatinya.

Kidung terheran-heran, mengapa hari ini dia begitu hanyut dalam perasaannya?

Sudah lama sekali dia tidak menyelami emosi yang begitu dalam. Biasanya dia enggan memahami emosi yang hadir. Dia menghindari emosi itu dengan mengerjakan sesuatu.

Begitulah hasil asuh keluarga militer dan patriarki yang konservatif.

Lelaki tidak dibiasakan mengolah rasa. Setiap melankolia yang timbul harus selalu dibunuh dengan keji dan dikubur secepat mungkin. Tangis seorang lelaki melambangkan jiwa yang lemah, dan jiwa yang lemah harus digembleng secara fisik.

Sejak masih sangat kecil, bahkan usianya belum genap enam tahun, apabila Kidung menangis, bapaknya akan menempeleng anak itu. Akibatnya, Kidung muda berperangai seperti bapaknya, yang tak bisa membedakan kesedihan dengan kekerasan. Bilamana suasana hatinya buruk, Kidung tidak menangis, dia menggebuk samsak.

Pada usia belasan tahun, Kidung sudah fasih stoikisme, dan sangat mengidolakan para filsuf Asia Timur yang merupakan ahli bela diri ataupun ahli perang seperti Sun Tzu dan Musashi. Ajaran mereka sangat rasional, nyaris menafikan unsur emosional. Dan seperti bapaknya, Kidung menganggap bahwa pencapaian tertinggi seorang manusia adalah kemampuan mematikan rasa serta mendisiplinkan diri.

Tetapi, di awal usia dua puluhan, Kidung mengalami depresi. Kidung merasa seakan terombang-ambing di tengah samudra tak bertepi. Dia telah hidup dengan sangat disiplin sedari kecil, dia jarang melakukan kesalahan, tetapi mengapa hidupnya terasa begitu salah.

Maka Kidung berontak. Dia keluar dari pakem keluarganya. Dia lakukan apa yang sewaktu kecil dilarang orang tuanya: belajar seni dan menjadi seniman. Kebebasan ternyata menyembuhkan. Dan di antara prinsip-prinsip dasar dari menjadi seniman adalah berani menyelami, mengamati, serta memaknai emosi.

Emosi merupakan elemen pencetus kreativitas, pembentuk keindahan. Ketika berstatus mahasiswa seni rupa, Kidung akrab dengan emosi. Dia sangat ekspresif, bahkan sampai berkelakuan seperti pengidap skizofrenia yang mengajak dialog seorang teman imajiner.

Tetapi kenyentrikan itu tidak boleh dia pertahankan di kala dewasa, sebab Kidung mesti hidup mandiri. Dia harus menghasilkan uang sendiri. Maka, seiring langkahnya memasuki dunia perbudakan korporasi, di mana profesionalisme dan stoikisme berhubungan erat, sentimentalisme tidak dipersilakan menempati celah di antara kedua paham itu.

Ya, sudah cukup lama Kidung tidak menikmati estetika emosi, dan anehnya hari ini rasanya seperti hari itu.

Hari di mana dia tidak mengekang emosinya, hari jiwanya merdeka.

Sembari berteleku, Kidung melirik Yama di sudut perpus itu, lalu menghela napas berat.

Sungguh Kidung ingin mengutarakan penyesalannya, sekaligus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dia lupa akan kesalahannya terhadap Yama.

Semua yang terjadi pada Kidung di masa lalu sekarang terasa bagaikan mimpi. Lebih tepatnya, mimpi buruk yang samar. Memang sebagian tanpa sengaja terlupakan, namun rasa yang sudah terukir pada dinding hati tak pernah berubah. Pilu, ngilu, kelu. Teror yang dirasakan Kidung bocah ketika dipecut sabuk bapaknya masih bisa Kidung dewasa rasakan apabila dia teringat akan masa lalunya.

Begitu pula rasa tenang yang Kidung rasakan di pagi hari belasan tahun lalu, ketika Yama menyapanya dan memberinya seplastik makanan untuk sarapan.

Mungkin karena itulah sekarang Kidung terdorong untuk terus mendekati Yama. Alasannya tidaklah romantis. Kidung hanya ingin merasakan tenang itu lagi, seperti yang dia rasakan saat jadi teman sekelas Yama.

Setulus hatinya Kidung ingin jadi teman Yama lagi.

Seandainya Yama sudi memberi Kidung lima menit saja kesempatan bicara, Kidung akan mengatakan, 'Kali ini, aku yang traktir kamu makan tiap siang, kayak dulu kamu selalu bawain aku sarapan tiap pagi.'

Kidung siap bersumpah, 'Di depanku, kamu gak perlu pura-pura jadi cewek kalem begini. Kamu mau ngakak, mau teriak, mau menggambarku atau menulis berbuku-buku puisi tentangku, aku gak akan pernah menghina kamu lagi. Begitu juga aku, mulai sekarang di depanmu aku gak akan segan menunjukkan bagaimana aku yang sebenarnya.'

Karena sesungguhnya Kidung tahu, di balik fasad mereka, Kidung dan Yama adalah dua jiwa serupa.

Bahkan, itu pula alasan Kidung mengapa dia membenci Yama dulu. Kidung cemburu pada Yama yang bisa bebas mengekspresikan diri lewat gambar dan tulisannya. Dulu Kidung juga ingin melakukan hal-hal yang sama, tetapi dia harus menguasai keinginan itu, sesuai dengan yang diharapkan orang tuanya.

***

Hujan selalu turun di sore hari.

Pukul lima, bola mata Kidung bergulir, mengikuti gerak lambat Yama. Perempuan itu menggeliat dan beranjak. Sejenak meninggalkan pekerjaannya.

Saat Yama menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan Kidung. Sang Creative Director tertegun, lalu meringis. Yama menghela napas berat.

"Emangnya Anda gak ada gawean?" sindir Yama. "Atau, mentang-mentang CFO perusahaan ini calon istri, Anda boleh seenaknya?"

Kidung meletakkan sehelai kertas di hadapan Yama. Secarik gambar yang Kidung buat dengan pulpen. Itu karikatur Yama tatkala fokus bekerja.

Sekilas Yama melirik gambar itu, lalu bertanya ketus, "Apa maksudnya nih?"

Kidung terkekeh malu. "Dulu kamu suka ngegambar aku ... dan karena sekarang aku lumayan jago ngegambar ... itu buat kamu."

Yama menatap Kidung. Rahang Yama tegang menahan geram. Itu memori yang paling Yama benci, paling ingin dia lupakan, tapi si Kidung bajingan itu mengungkitnya sambil cengengesan dan tanpa merasa berdosa.

Yama mengambil kertas dari Kidung itu, meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah.

Menyaksikan itu, Kidung tercengang. Namun lantas Kidung tertawa. Hatinya sakit, bukan karena gambarnya ditolak dan dibuang Yama, melainkan karena sekarang Kidung mengerti bagaimana perasaan Yama dulu.

"Gak usah nyampah. Gak ada gunanya. Anda mau ngegambar saya pake tinta emas di atas kanvas sutra pun bakal saya buang kayak gini," ucap Yama dingin.

Kidung tidak membalas. Sorot mata Kidung selembut gerimis. Wajah tersenyumnya redup dan berkabut, seperti panorama di luar sana.

"Apa sih yang Anda mau dari saya?" Rona wajah Yama kian membara. "Anda mau bikin orang-orang memusuhi saya di kantor ini, kayak dulu waktu kita SMA? Gampang kok! Dimulai dari bikin Mbak Sekar salah paham dan membenci saya, karyawan lain tinggal mengikuti!"

Kidung dapat melihat bayangan Yama berseragam SMA di balik Yama dewasa. Yama yang tetap tersenyum pada Kidung meskipun dia bingung, dan takut, dan terluka. Kidung ingin memeluk gadis malang itu.

Kidung baru menyadari kebodohannya sekarang, bahwa gadis yang dulu mengusiknya itu, adalah satu-satunya manusia yang paling mengerti dirinya. Gadis itu pasti mengerti rasanya kesepian di tengah keramaian. Rasa yang dulu Kidung sembunyikan.

Lagipula, ketika orang tua Kidung menuntut balas jasa pada Kidung seperti lintah darat menagih pinjaman berbunga, hanya Yama yang terus memberi tanpa mengharap balasan.

Benar, sedari dulu hanya Yama yang menyayangi Kidung apa adanya.

Dada Kidung menggelenyar nyeri, sampai napasnya agak sesak.

"Ma," ucap Kidung seraya mengesah. "Sendainya semua orang di dunia ini memusuhi kamu, aku berani bersumpah, aku gak bakal begitu."

[Akhir Bab 7]

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang