#23. Anak Sulung

165 21 0
                                    

Obrolan dua orang penyintas depresi yang berusaha setengah mati untuk tetap hidup terdengar seperti obrolan dua orang pemadat, semakin sore semakin melantur.

"Mandi kek lo!" hardik Kidung pada sang kakak. "Bau ketek lo pekat banget, sampe nempel ke baju gue!"

Kawung tidak menghiraukan hardikan adiknya. "Lo udah berapa lama gak ketemu bokap-nyokap, Dung?"

"Gue sih paling cuma sebulan. Lo udah berapa tahun gak ketemu mereka?"

"Au dah. Gue emang berniat gak bakal ketemu mereka sampe gue denger bokap sekarat."

"Mbak!"

"Lagian, tiap ketemu mereka, pasti bonyok muka gue kena tampol bokap."

"Terakhir gue pulang juga gitu, lecet-lecet badan gue dihajar bokap."

"Kenapa bapak kita emosian banget ya?"

"Ya ndak tahu, kok tanya saya!"

"Dung, setelin gue The Cranberries dong, yang album 'No Need to Argue'!"

Kidung menyetel album pilihan Kawung di tv.

"Gue paling suka album ini." Kawung tersenyum dan mengesah nyaman. "Dan asal lo tahu, Dolores O'Riordan itu crush pertama gue. Saking gue demen banget sama dia, waktu SMA gue potong rambut sendiri biar kayak rambutnya O'Riordan. Pas bokap ngeliat rambut gue bondol, wah gila, rambut gue dijambak, terus gue diseret keluar rumah. Gue hampir diusir. Untung Pak RT tiba-tiba dateng nagih iuran."

Duduk bertopang dagu, Kidung mengamati kakaknya. Kendati penampilan Kawung kusut-masai, namun kecantikannya yang khas perempuan Indonesia masih kentara.

Tidak hanya cantik, Kawung juga punya banyak kebolehan. Dia pandai menulis, jago memainkan berbagai alat musik, juga bersuara merdu. Sebelum Kawung jadi perempuan tukang kawin-cerai, dia pegiat sastra dan vokalis band rock indie. Sewaktu kuliah, dia aktif dalam menyuarakan penderitaan rakyat murba dan mengkritik tindakan sewenang-wenang pemerintah, dengan ikut berdemo di jalanan maupun lewat tulisan-tulisannya.

Pantaslah semasa belia, Kidung sangat mengidolakan kakaknya yang pemberontak itu.

Sebagai anak bungsu, Kidung harus mengakui, masa kecil Kawung sebagai anak sulung Bapak jauh lebih mengerikan daripada yang pernah Kidung alami. Menjadi anak sulung, apalagi dengan orang tua narsisistik, artinya terpaksa harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Sedari kecil Kawung dituntut untuk jadi anak yang "sempurna" di mata orang tua, agar layak dicontoh oleh adiknya.

Adat keluarga patriarki kolot pun membuat Kawung harus banyak mengalah pada Kidung, sebab Kawung perempuan dan Kidung laki-laki. Yang selalu disuruh orang tua hanyalah Kawung, sementara Kidung tidak. Sebagai perempuan Jawa, Kawung juga dipingit orang tuanya. Segala hal yang ada pada dirinya, yang terjadi dalam hidupnya, harus terlebih dulu diizinkan Bapak. Mulai dari memilih pakaian, memilih teman, memilih jurusan kuliah, memilih bidang pekerjaan, dan sudah pasti dalam menentukan pendamping, semuanya ditentukan oleh Bapak.

Maka tidak heran jika Kawung sering bertengkar dengan Bapak, dan akhirnya melarikan diri lalu tidak pernah mau bertemu lagi dengan orang tuanya.

Kidung menyadari, Kawung mirip ibu Yama. Kakak Kidung dan ibu Yama sama-sama wanita perkasa, sama-sama dengan gagah berani menentang lelaki tiran yang mengungkung dan mengerdilkan mereka. Namun setelah memerdekakan diri dari para lelaki, mereka harus bertempur lagi, kali ini melawan penyakit mental mereka sendiri.

Teringat akan Yama membuat dada Kidung disesaki rindu.

Ada terlalu banyak kesamaan dalam hidup mereka. Apakah itu semua hanya kebetulan semata? Ataukah itu pertanda bahwa ada seutas benang takdir yang mengikat keduanya agar menyatu?

Kidung ingin mengetahui bagaimana kabar Yama sekarang.

Namun, Kidung pun takut Yama tahu, bahwa saat ini Kidung masihlah seorang pengangguran.

Seolah dapat mendengar narasi dalam hati Kidung, tiba-tiba Kawung bertanya, "Yama itu orangnya kayak gimana, Dung?"

Kidung tersentak, lalu terdiam agak lama sebelum menjawab, "Dia ... orang paling baik hati ... yang pernah gue temui."

Kawung melirik Kidung. Cukup terkejut juga Kawung tatkala melihat ekspresi melankolis di wajah Kidung saat membicarakan seorang perempuan. Kawung pun tersenyum.

"Emang dia sebaik itu, Dung?" pancing Kawung. "Apa lo aja yang terlalu lebay menilai dia?"

"Dia emang baik, Mbak, terutama sama ibunya. Ibunya punya penyakit jiwa, namanya skizoafektif. Ibunya juga punya kanker stadium IV, sementara bapaknya udah meninggal. Jadilah Yama tulang punggung keluarga, sekaligus harus merawat ibunya sendirian. Tapi dia gak pernah ngeluh, dan sikapnya ke ibunya juga luar biasa."

"Ngedenger lo memuji seorang perempuan dari sikapnya ke ibunya, bukan dari betapa cantiknya dia atau betapa tinggi pendidikannya kayak dulu lo biasa memuji Sekar, gue yakin lo betul-betul jatuh cinta sama perempuan ini."

"Itu sih jelas." Kidung mengakui. "Gue pun menyadari, gue beneran cinta sama Yama, Mbak. Sayangnya, lamaran gue udah dia tolak. Dan kayaknya gak akan ada kesempatan kedua buat gue."

"Jangan gampang menyerah." Kawung menyemangati. "Coba aja terus."

"Sebenarnya kemauan gue juga begitu. Tapi setelah gue pertimbangkan baik-baik, gue harus mundur. Seperti yang lo bilang, kita sudah cacat sedari anak-anak."

Kawung ingin terus mendorong Kidung, namun Kawung pun lekas menyadari kepasrahan yang meredam kemelut sukma dalam kedataran ucapan Kidung.

"Kalo gitu apa rencana lo selanjutnya, Dung?" Kawung merangkul Kidung, berusaha menyerap sebagian duka adiknya seandainya bisa. "Jangan bilang lo mau ngejomlo selamanya."

"Apa salah kalo gue pengen ngejomlo selamanya, Mbak?" balas Kidung. "Pernikahan itu kan bentuk ibadah terbesar yang dapat menyempurnakan separuh agama. Jadi gak semestinya kita menggampangkan rencana pernikahan. Gak semestinya pernikahan dijadikan semacam pelarian dari rasa bosan dan kesepian."

Kawung menghela napas berat seraya menyandarkan kepala di bahu Kidung. "Okelah, toh lo masih punya gue, Dung." Kawung mengusap-usap punggung Kidung dengan penuh kasih.

"Rencana gue sih, Mbak, pertama gue harus cari kerja," lanjut Kidung dengan antusias. "Sambil kerja, gue mau kejar cita-cita asli gue, jadi komikus! Lo juga dong, Mbak! Ayo, lo nulis lagi! Tunjukkan karya lo pada dunia, ungkapkan apa yang lo pendam! Lo harus terbitkan buku lo, Mbak!"

Kawung tersenyum dan mengangguk.

"Dung, biasanya kalo terlalu berkobar di garis start, nanti di pertengahan jalan obor semangat kita perlahan padam, lalu untuk menyalakannya kembali butuh masa interval yang bakal panjang. Jadi pelan-pelan aja, oke? Jangan terlalu terburu-buru," ujar Kawung.

"Anyway ...." Kawung menatap Kidung. "Gue belum sanggup nulis lagi, Dung ...."

"Lho, kenapa?" selidik Kidung sedikit kecewa.

Kali ini pipi Kidung yang Kawung usap-usap. "Pokoknya, gue cuma pengen lo tahu, gue sangat bangga sama lo. Apapun yang lo pengen lakukan, gue akan mendukung semampu gue. Dan gue minta tolong banget sama lo, dukung gue juga, apapun keputusan gue."

Kidung mengernyitkan dahi. "Lo kenapa sih, Mbak, tiba-tiba mellow begini?"

"Sekali lagi, gue cuma pengen bilang, lo hebat, Dung. Gue tahu lo sudah berusaha semampu lo, demikian pula kakakmu ini. Pokoknya, teruslah optimis dan yakin pada visi-misi yang positif, dan sabar kalo terkadang apa yang harus kita jalani tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Lo ngerti kan maksud gue, Dung?"

Kidung menghela napas berat, lantas menganggukkan kepalanya pelan.

[Akhir Bab 23]

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang