#10. Alasan untuk Cemburu

225 31 0
                                    

Selama beberapa pekan Kidung dan Yama minim interaksi karena disibukkan pekerjaan masing-masing.

Kidung lebih sering bertemu klien di luar kantor, sementara Yama selalu menghindari Kidung apabila pria itu berada di kantor seharian.

Bagaimanapun, Kidung masih sempat curi-curi kesempatan memandang Yama, kendati ruangan mereka berbeda dan mereka tidak punya kepentingan untuk bertemu. Caranya, Kidung sengaja mencetak berkas menggunakan printer yang letaknya dekat meja Yama, atau Kidung pura-pura cari referensi di perpustakaan di mana Yama berada.

Semua itu mendebarkan bagi Kidung. Rasanya seperti pedekate sama gebetan zaman SMA.

Walaupun sebenarnya Kidung yakin dia tidak sedang jatuh cinta kepada Yama.

Tidak. Kidung yakin betul, perasaannya terhadap Yama bukanlah cinta. Apa yang Kidung lakukan itu adalah teknik menghilangkan kebosanan di kantor.

Dengan kalimat lain, Yama hanyalah sebuah hiburan baginya.

Karena mengapa tidak?

Mengapa keinginan ini, untuk merebut hati Yama kembali, harus memiliki sebuah nama?

Dan kalaupun harus diberi nama, mengapa namanya harus 'cinta'?

Tidak semua relasi antar manusia harus dinamakan, begitulah pendapat Kidung.

Kidung dapat bersikap sangat romantis pada seseorang, padahal hatinya kosong, sebab demikianlah selama ini Kidung bersikap kepada Sekar dan pada orang tua Sekar. Kidung hanya manis di mulut. Kidung dapat mendekap dan mencumbu mesra tunangannya, tetapi semua itu cuma permainan peran yang dilakoninya selama satu dasawarsa.

Atau sebaliknya, Kidung terbiasa bersikap sembarangan terhadap Vino (sebagaimana Vino terhadap Kidung), bahkan selama bertahun-tahun Kidung menghilang tanpa mengabari Vino. Lalu suatu hari, Kidung akan menemui Vino lagi, kemudian menceritakan apapun yang tidak pernah Kidung ceritakan pada Sekar maupun pada orang tuanya sendiri. Rasa sayang Kidung pada Vino tidak pernah diungkapkan, namun seandainya Vino dan Sekar tenggelam di laut, sudah pasti Kidung akan menyelamatkan Vino lebih dulu.

Jadi sekarang, terhadap Yama, Kidung tidak ingin hubungan mereka dilabeli, atau direkatkan pada suatu istilah khusus.

Ya, Kidung tertarik pada Yama, namun ketertarikan itu tidak bersifat seksual, tidak pula didasari naluri reproduktif yang menjadi inti alasan kenapa sebagian besar manusia kepingin menikah.

Satu-satunya alasan paling masuk akal mengapa rasa tertarik itu tiba-tiba muncul adalah karena rasa bersalah Kidung belum Yama ampuni. Itu menjadi beban. Juga membuat penasaran.

***

Maka, jika menggunakan penalaran yang sama, barangkali apa yang Kidung rasakan bukanlah 'cemburu', manakala Kidung terpaku menatap Yama dan Farid yang asyik ngobrol berdua.

Yama dan Farid sedang mendesain sesuatu bersama, dan mereka tampak terlalu dekat. Pemandangan itu mengejutkan bagi Kidung. Selama beberapa detik Kidung merasa jantungnya copot ke perut.

Di ruangan Creative Director, Kidung pun memikirkan kedekatan Yama dan Farid tersebut. Apa yang membuat Kidung dongkol bukanlah karena Farid duduk berdempetan dengan Yama, atau karena lelucon norak yang Farid ucapkan membuat Yama tertawa. Kidung hanya kesal, sebab Yama tidak pernah seramah itu pada Kidung.

Padahal Kidung mantan teman sekelas Yama!

Kidung jauh lebih dulu mengenal Yama daripada Farid!

Apakah sebenarnya Farid pacar Yama?

Kalau benar begitu, kenapa Kidung tidak tahu? (Dan kenapa pula Kidung merasa dia berhak tahu soal hubungan asmara Yama?)

Demikianlah yang berputar dalam benak Kidung sampai dia tidak bisa tidur selama beberapa malam, sementara dia terus menyangkal suara hatinya sendiri bahwa semua pikiran tersebut berasal dari kecemburuan.

"Mustahil gue cemburu!"

Mondar-mandir di kamarnya pukul tiga dini hari, Kidung berdebat dengan hatinya sendiri.

"Enggak, karena, apa yang bikin gue demen sama Yama?"

Kidung bicara seperti orang gila. Kedua tangannya bergerak-gerak di udara. Bola matanya merah dan kulit di sekitar matanya semakin menghitam karena kurang tidur.

Lalu, setelah semalaman uring-uringan di rumah, keesokan harinya Kidung uring-uringan lagi di dalam ruangannya selama ngantor, memikirkan hal yang sama.

Itu terjadi selama tiga hari.

Setelah tiga hari, Kidung memutuskan untuk menemui Yama.

Berharap, jika mereka bersitatap, itu akan membuktikan bahwa rasa tidak suka Kidung terhadap Farid bukan didasari cemburu.

***

Saat itu masih relatif pagi.

Kidung lihat Yama tidak ada di lantai tiga, di lantai Seksi Kreatif, jadi sudah pasti Yama di perpus lantai enam.

Di lantai enam, Kidung melihat Yama melintasi koridor di antara ruangan-ruangan para pejabat Sagacity. Kepala bulat Yama tampak tertunduk. Perempuan berkemeja dan bercelana pendek itu menyeret langkahnya dengan lesu menuju ruangan Sekar.

Namun, tiba di depan pintu ruangan Sekar, Yama mematung menatap pintu.

Secarik kertas tergenggam erat di depan dada, dan Kidung mendapat firasat buruk tentang isi kertas itu.

"Ma," panggil Kidung.

Yama menoleh. Kidung tertegun. Mata Yama basah dan sembap, dan rona kemerahan di wajahnya menandakan dia usai menangis.

"Ngapain?" tanya Kidung. "Itu kertas apa?"

Yama menelan ludah dan menggeleng. Kidung bisa mengira Yama sedang berusaha sekuat tenaga membendung air mata. Usaha yang sia-sia, karena air matanya berjatuhan tanpa bisa dikendalikan.

"Ayo." Kidung meraih pergelangan tangan Yama, menarik lembut perempuan itu menuju tangga darurat, lantas Kidung membukakan pintu untuknya. "Di sini boleh nangis sepuasnya."

Begitu pintu ditutup, Yama langsung berjongkok. Sambil mendekap lutut, perempuan itu terisak-isak. Berdiri di sisi perempuan itu, Kidung meremas-remas tangan, menahan diri untuk tidak memeluk.

Keinginan untuk memeluk itu merasuk sampai ke tulang, menimbulkan kemarahan yang menyakitkan di dalam dada.

Seakan, tak peduli siapapun yang menyebabkan Yama menangis, Kidung siap menghujani wajah orang itu dengan bogem mentah.

"Kenapa, Ma?" tanya Kidung tenang sambil menepuk-nepuk punggung Yama. "Kamu abis dimarahin Sekar lagi?"

"Ibu ..." rintih Yama pilu, suaranya seperti seorang bocah yang baru ditinggal mati ibunya. "Aku ... harus izin cuti ... harus ngerawat Ibu ...."

Kidung pun berjongkok supaya bisa mendengar ucapan Yama lebih jelas. "Emang ibumu kenapa?"

"Ibu sakit ... gak boleh ditinggal sendirian ...." Yama tersengguk-sengguk, sampai kepalanya terantuk-antuk setiap kali dia tarik napas. "Tapi kalo aku resign ... kami gak punya uang ...."

"Emang gak ada yang bisa ngurusin ibumu selain kamu?"

"Gak ada ..." ucap Yama pilu. "Ibu cuma punya aku ...."

Kidung mendongak, menelan bulat-bulan sekepal iba yang berhenti di kerongkongan.

"Terus sekarang ibumu dijagain siapa?"

"Pak satpam perumahan ...."

"Ma, kamu minta cuti sama Pak Tirta langsung, jangan ke Sekar. Nanti Sekar ngomel."

"Tapi, kamu tahu sendiri, Pak Tirta lagi gak ada di Indonesia .... Aku dengar beliau lagi pameran keliling Eropa ...."

"Aku bisa telepon Pak Tirta. Aku bisa minta izin cuti buat kamu," ujar Kidung menenangkan.

Yama menatap Kidung. Seulas senyum tipis tersungging di wajah Yama. Anehnya, melihat senyum itu, justru semakin membuat Kidung terharu.

Kidung pun tersenyum seraya bangkit. "Ayo, kuantar kamu pulang." Kidung mengulurkan tangan.

Yama menggenggam tangan besar Kidung dengan erat. "Terima kasih banyak, ya, Kidung ...."

[Akhir Bab 10]

Biar Saja Rusuh di Ranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang