MPTA || 61. Habiban? Gas!

1.1K 74 13
                                    

— بسم الله الرحمن الرحيم —

— اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Jika bersholawat adalah bukti cinta kepada nabi. Maka, mahalul qiyam adalah puncak dari cintanya.
— Ira_Lskr

— Ira_Lskr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

"Maa syaa Allah cantik banget belahan jiwa aku ini." Bintara berjalan ke arah Huma dengan jubah hitam yang sudah melekat indah di tubuh tegapnya, malam ini mereka berniat untuk menonton habib dan bersholawat bersama.

Huma dengan abaya hitam, jilbab syar'i, dan niqab yaman yang sudah ia kenakan. Huma tersenyum malu, lalu menggandeng tangan suaminya dan berjalan ke arah garasi.

Setelah mengeluarkan motornya, akhirnya Bintara pun melajukan motornya dengan pelan, seraya terus tertawa dan berbicara dengan Huma. Bulan dan bintang yang menjadi saksi betapa bahagianya mereka, ketika mereka memilih untuk melupakan ujian yang sedang diterima.

Beberapa menit berkendara akhirnya mereka pun sampai di tempat itu, yang sudah ramai dengan manusia pencinta sholawat. Bahkan parkiran motor pun sangat penuh. Bintara turun dari motornya dengan membawa satu sarung.

"Ayo sayang," ajak Bintara menggenggam tangan Huma.

"Rame banget ya A'," ucap Huma sambil mengedarkan pandangannya untuk melihat lautan manusia. Ada yang baru sampai dengan rombongannya, ada yang sudah duduk dan bersholawat, ada yang sedang jajan, dan ada juga yang sedang membenarkan bendera besar untuk nanti dikibarkan ketika bersholawat.

"Iya, mereka inilah para mafia sholawat," balas Bintara.

"Mau jajan dulu nggak?" tanya Bintara menatap Huma yang tidak bisa berhenti tersenyum, karena senang.

"Enggak deh A', nanti aja."

Bintara mengangguk lalu menarik tangan Huma untuk duduk di depan panggung.

"A' mau di depan, kalo di belakang nggak terlalu keliatan," ucap Huma sedikit berteriak. Jika sudah menonton habib, Huma selalu berada di paling depan walaupun ia harus melewati ribuan manusia agar bisa sampai di paling depan. Melewati ribuan manusia pun, Huma harus dibantu dengan temannya, karena terkadang banyak ibu-ibu yang julit dan terlihat tidak suka jika ada yang di depan.

"Mau di depan? Ayo," ajak Bintara lalu menarik pelan tangan Huma.

Tetapi Huma malah menahan tangan Bintara, membuat Bintara menoleh. "T-tapi A', banyak orang. Pasti banyak ibu-ibu yang julit nantinya."

My Promise To Allah [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang