🥇🥇🥇
Seravina dengan bimbang, berjalan ke arah ruang guru di lantai dua. Walau hanya sedikit, terdapat rasa aneh terbersit di hati karena sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan dengan Wali Kelasnya. Namun meminta salah satu anak untuk memanggil padahal jam istirahat sebentar lagi akan berakhir, sungguh ada sesuatu yang tidak beres.
"Oh sudah datang ya, Sera. Sini duduk dulu," ucap Pak Suganda saat Seravina datang menghampirinya. Perempuan itu menurut. Menarik sedikit kursi di meja berhadapan dengan Pak Suganda di sana, sedang menyortir kertas-kertas yang menumpuk di sana. Sekilas ia melihat beberapa kalimat di antara kertas itu yang sudah pasti, juga akan menjadi alasan pemanggilannya kemari.
"Ada apa ya, Pak?"
"Ini." Pak Suganda menyodorkan satu lembar kertas yang membuat Seravina menelan ludah. Dugaannya ternyata benar. "Kamu belum kumpulin daftar peminatan kuliah? Waktunya sudah mepet, loh. Emang kamu lagi nungguin apa?"
"Saya..." Seravina mencoba diam sejenak. Sulit juga merangkai kata jika ia belum mempersiapkan hari ini tiba. Mendadak sekali. "masih belum memutuskan apa-apa, Pak."
"Oh, kenapa? Kalau masalah biaya, banyak jalur undangan beasiswa yang sudah menawarkan ke kamu, kan? Atau ini terkait jurusan kuliah?"
Seravina tersenyum. Menatap kertas di hadapannya datar. "Masih banyak yang harus dipikirkan, Pak. Saya butuh waktu sebentar lagi."
"Apa mau Bapak yang coba diskusikan dengan orang tua—"
"Eh, jangan Pak," potong Seravina langsung. Tidak dapat lagi membendung rasa paniknya. "Em, maksud saya, nanti saya diskusikan sendiri dengan orang tua saya. Kemarin kertas saya hilang, Pak. Lupa belum minta Bapak lagi karena sibuk persiapan lomba. Kalau sudah ada keputusan nanti saya pasti langsung beri tahu Bapak." Dengan satu senyuman yang tersungging pada bibir, Seravina sekali lagi berhasil mengatasi masa krisisnya.
Terbukti dengan Pak Suganda yang manggut-manggut mengerti. Percaya saja dengan apapun yang perempuan itu katakan. "Oh, begitu. Saya pikir kamu ada masalah atau apa." Pak Suganda menyerahkan satu lembar kertas peminatan bakat pada Seravina yang langsung diterima dengan sopan.
"Ya, tolong disegerakan ya, Sera. Karena semakin mendekati Ujian Sekolah, Pendaftaran Universitas apalagi yang jalur Beasiswa banyak yang mulai tutup. Peluang kamu nanti semakin kecil. Sudah ada Universitas yang kamu incar?"
Seravina diam, menatap kertas di tangan itu, tetap tidak merasakan apa-apa walau bibirnya tersenyum. "Masih bingung, Pak."
"Memang kamu terlalu banyak pilihan, ya. Sampai bingung begitu." Pak Suganda tertawa diikuti juga dengan tawa sopan dari Seravina. "Ya, coba kamu diskusikan dulu, kalau ada masalah cari saya, ya. Nanti saya coba bantu sebisa saya."
"Iya, terima kasih, Pak." Bertepatan dengan bel masuk kelas yang berbunyi, tanda jam istirahat sudah berakhir. "Ya, sudah. Kamu kembali ke kelas dulu."
"Iya terima kasih, Pak. Mari, Pak." Seravina mencengkram kertas itu kuat.
Perempuan itu bergegas keluar dari ruang guru. Lambat laun, senyuman itu menghilang dari bibir. Kembali datar tanpa ekspresi serta satu pikiran yang hampa merasuk ke dalam otak.
Sepanjang perjalanan, diiringi dengan lari dari anak-anak yang terburu-buru masuk ke dalam kelas masing-masing. Seravina meremas kertas di tangannya. Membuat menjadi satu bola kecil di sana, lalu sebelum masuk ke dalam kelas, ia melemparkan kertas itu, masuk ke dalam tong sampah.
🥇🥇🥇
"Itu si Sera, tuh." Ucapan Lionel langsung disambut dengan kepala Deven yang menoleh melihat ke arah yang sama dengannya. "Yee, amit-amit, bucin." Lionel sudah kembali mengurus kertas fotokopi catatan yang diberikan oleh Nesya tadi siang, tetapi temannya malah tidak dapat mengalihkan pandangan dari Sang Empunya Catatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTiNUE
Romance[21+] Sebagai seorang Atlet Panahan Sekolah yang berprestasi, Deven Tjahyadikarta menjadi sosok yang populer di antara anak-anak perempuan di SMA nya. Meski begitu, hatinya tertambat sangat kuat pada seorang anak perempuan kutu buku bernama Seravina...