04. Seiris Kesempatan

609 43 2
                                        

🥇🥇🥇

🥇🥇🥇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥇🥇🥇

Deven membaca pesan dari Nesya melalui layar ponselnya. Tersenyum salah tingkah saat akhirnya ia bisa bertemu dengan Seravina. Beberapa hari ia sudah mencari waktu yang tepat, tapi selalu saja Seravina tidak ada di kelasnya. Mungkin memang perempuan itu sedang dalam masa pelatihan karena yang Deven dengar, Seravina memang sedang mempersiapkan untuk perlombaan Ekonomi tak lama lagi. "Deven." Sayup-sayup suara Pak Ferry—Pelatih Panahan Deven terdengar.

"Deven!"

"Adudududuh. Ampun, coach ampun! Iya ini mulai. Udahan ini chat-nya!" Satu jeweran dari Sang Pelatih mau tak mau dikeluarkan juga. Pasalnya Deven sudah sibuk saja bolak balik ke belakang lapangan dengan ponsel, padahal masih kurang satu sesi latihan lagi.

"Kamu ini, ya. Hari ini nggak fokus banget, nungguin apa, sih?"

"Biasa, coach." Deven cengar-cengir sendiri salah tingkah dan menaikkan kedua alisnya. Pak Ferry melepaskan jewerannya saat Deven akhirnya meletakkan kembali ponsel lalu berjalan ke arah lapangan. "Punya pacar, ya, kamu?" tuduh Pak Ferry.

"Kalau punya pacar itu harusnya makin semangat latihan dong, bukannya jadi malas-malasan. Lombanya sudah dekat sekali, lihat, tuh, tadi pose kamu berantakan semua, main release-release aja buru-buru. Sabar! Tunggu! Pantau dulu. Ini punggung bahu juga kaku semua! Kemarin bolos gym, ya?"

"Nggak bolos, loh coach! Cuma nggak full set saja." Deven tertawa melihat Pak Ferry yang semakin terlihat murka. "Haduh, ya ampun kebiasaan sekali kamu, ya. Semakin dekat hari-H, malah makin lembek gini. Sebelum pulang, kamu latihan dulu! Shoulder sama back, Overhead kiri kanan tiga set masing-masing, bench press tiga set. Pull up push up juga."

"Siap!" Deven tersenyum lebar. Lalu ia menaruh jemarinya di dekat alis, sikap seperti hormat ala upacara. Berharap untuk tidak... "Lusa lateral raise juga jangan lupa."

"Aduh, Coach."

"Apa lagi aduh-aduh. Mau menang, nggak?"

"Iya mau. Siap laksanakan, coach! Tapi— "

"Apalagi tapi-tapi terus?" Deven tersenyum. "Tapi sekarang udahan dulu boleh nggak coach, mau ngapel dulu. Ntar keburu pulang ini si doi." Sebuah tepakan pada belakang kepala Deven terdengar nyaring. Deven merutuk, mengusap kasar bagian belakang kepalanya sendiri. "Nggak ada! Cepat tiga seri terakhir. Kalau berantakan lagi kayak tadi, jangan harap hari ini bisa ngapel!"

Deven menghela napas, tapi tetap menurut juga. Ia berlari dengan segera, tidak ingin berlama-lama lagi. Mencabut anak panahnya yang jauh meleset dari target berwarna kuning, kebanyakan pada warna biru dan beberapa warna merah. Pantas saja tadi dirinya diomeli habis-habisan.

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang