02. Sesosok Target

523 34 6
                                    

🥇🥇🥇

"Nel," Lionel menghembuskan napas. Melihat malas ke arah Deven. Panggilan yang sudah kesekian kali hari ini. Sejak tiga hari lalu, Deven tidak berhenti memanggil namanya, mencari semua informasi. Apalagi kalau bukan... "Si Sera biasa pulang naik apa, sih?"

"Dia teleport, kan punya batu teleport tuh jadi nggak makan waktu buat pulang, langsung belajar deh tuh habis sampai rumah."

"Dih, serius dulu, Nel! Ini menyangkut kelangsungan hubungan gue, nih."

"Apanya, sih, Ven, yang kelangsungan hubungan? Sadar, hei. Orangnya aja mungkin tahu lo hidup aja nggak," nyinyir Lionel. Mencoba menyadarkan kawannya yang satu ini.

"Belum kenal. Ini, kan, mau kenalan dulu makanya."

"Ya lo kalau kenalan, ya datengin dong, minta dulu nomornya."

"Nomor mah udah dapet dari kapan hari kali."

"Dih? Kok bisa? Lo minta Nesya, ya?" tuduh Lionel yang malah dibalas dengan senyum bangga penuh arti oleh Deven. "Gue liat di buku data siswa Pak Suganda pas dipanggil yang lalu."

"Wah, Ven, kata gue sih lo emang nekat anaknya." Hening sebentar sebelum Lionel akhirnya menyadari sesuatu. "Lah, ya kalau udah punya nomornya ya lo ajakin makan kek, nonton atau apa kek. Kenapa jadi lo tetap nanya-nanyainnya ke gue?"

Deven mendecakkan lidah, menepuk-nepuk bahu Lionel dengan pelan. "Ya, emang sih kalau ngomong sama jomlo akut tuh susah." Lionel mengatupkan bibirnya agar tidak menyumpahi Deven yang setiap berbicara jarang sekali dipikir. Dan anehnya lagi, Lionel masih saja mau menanggapi ocehan kurang ajar dari lelaki itu.

"Nih, Nel. Kalau deketin cewek tuh butuh strategi. Percaya deh, nggak bisa langsung sat-set sat-set gitu, semua ada waktunya. Pantesan aja lo gagal mulu dapet cewek." Lionel melengos. Ibarat sudah dibantu dan terus saja diberi pengertian, temannya ini memang tipikal harus coba dan gagal dulu, baru bisa berhenti.

Jadi terserah saja kawannya ini mau melakukan apa. Yang paling penting, jika sampai proses pendekatan dengan Seravina gagal, Lionel akan menjadi orang nomor satu yang mentertawakan Deven hingga pita suaranya lepas.

"Duh emang ngomong sama titisan buaya tuh susah. Lo sebenernya mau ngapain, sih sama Sera? Nggak kasihan lo sama orang tuanya? Udah digedein baik-baik, udah berprestasi, eh lo malah dateng-dateng mau ngerusak anak orang."

"Gini-gini gue juga berprestasi, loh, Nel. Nggak lihat tembakan sempurna gue minggu lalu?" Tangan Deven bergaya seakan memegang busur panah di tangan, memicingkan mata, menarik busur di atas angin dan...

"Syuut—bam!" Lionel menggelengkan kepala melihat tingkah Deven. Bukan berarti lelaki itu tidak tahu kemampuan Deven dalam olahraga panahan.

Berapa kali temannya itu sudah memenangkan kejuaraan provinsi, bahkan masuk dalam kualifikasi atlet panahan berpotensi untuk menjuarai tingkat nasional tahun ini. Tapi mau bagaimanapun, guru di sekolah tidak memiliki respek yang sama, dibandingkan dengan peserta lomba akademik yang tidak memenangkan apa-apa. Berbeda sekali dengan perlakuan yang didapatkan pemenang kejuaraan akademik, Seravina adalah bukti nyata.

Sungguh ironi.

"Emang sih, lo berprestasi. Tapi jaman sekarang yang dilihat itu prestasi akademik aja, bro. Kalau yang model begituan lo piala numpuk di perpustakaan juga nggak ada yang lihat. Beda tuh sama yang juara matematika, mau cuma antar RT juga bakal lebih dilirik."

Anehnya dengan berbagai ucapan Lionel yang seharusnya menyakitkan, Deven tidak tersinggung. "Gue ikhlas aja sih dianggap gitu sama yang lain. Tapi kalau itu satu-satunya yang bisa bikin gue deket sama Sera, kenapa nggak? Eh, gue ini baik loh, mau ngelengkapin kebahagiaan anak orang yang cantiknya kebangetan ini. Nih gue kasih tahu ya..."

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang