06. Sepotong Sandwich

460 37 3
                                    

🥇🥇🥇

"Ah, Ven. Beneran deh udah nyerah. Aku nggak kuat lagi." 

Seravina merintih sembari terus menahan tubuhnya bergetar, menahan posisi yang Deven inginkan sejak tadi hingga ia banjir dengan keringat. Sementara Deven tersenyum dan berdiri dengan santai di belakangnya. "Ayo, bisa. Tadi kamu sendiri, kan yang minta."

"Tapi kali ini nggak bisa. Nanti lagi aja, ya?"

"Nggak mau. Pengennya sekarang. Ayo cepat jangan kebanyakan alasan." Seravina tidak bisa lagi membalas perkataan itu. Menurut saja dan mencoba menaikkan kedua tangannya ke atas dengan getaran yang semakin kuat. Kekuatannya sudah hampir habis dengan peluh yang menetes semakin lama semakin deras, membasahi seluruh kausnya. Berbanding terbalik dengan Deven, yang tidak berkeringat sama sekali, puas mengerjai perempuan itu.

"Ayo semangat, Sera! Terakhir ini." Seravina mengangkat barbelnya dengan kedua tangan. Memberikan semua kekuatan terakhir dengan hembusan napas yang terkuat. Deven masih menatangkan tangan di atas kedua lengan Seravina tanpa menyentuhnya. Hanya menjaga kedua lengan perempuan itu dari belakang agar benda berat itu tidak terjatuh langsung mengenai kepala atau bagian tubuh lain saat Seravina benar-benar tidak kuat lagi. 

Senyum Deven menghilang saat ia melihat sedikit bagian kaus di lengan kanan Seravina yang turun karena lengan perempuan itu berada lebih tinggi dari kepala. Goresan yang sedikit terlihat pudar, tapi sebagian yang lain masih terlihat merah saling menimpa satu sama lain. 

"Ah, udah beneran capek banget ini." Ucapan Seravina membuat Deven tersadar, lalu dengan sigap mengambil barbel itu dari tangan Seravina sebelum terpelanting ke lantai. Sementara perempuan itu sudah kabur dan duduk di kursi pinggir gedung olahraga, mengambil air mineralnya dan menenggaknya hingga habis dengan tangan yang sudah terasa lemas sekali. 

Seravina memeluk tubuhnya sendiri dengan jemari memijat pelan lengannya. "Gila, ini olahraga terkeras yang pernah aku jalanin seumur hidup." Deven mulai tersenyum lagi. Puas sekali rasanya sewaktu Servina ngomel-ngomel pada dirinya seperti ini. "Pak Bagyo aja nggak pernah loh, bikin aku begini."

"Soalnya, Pak Bagyo takut diomelin sama Pak Pandu. Lagian kamu kemarin disuruh lari juga sampai pingsan, sekarang nggak, kan? Berarti emang cocoknya latihan sama aku aja."

"Nggak tau, ah. Kamu nyebelin," rajuk Seravina. "Loh, kok jadi aku? Kan tadi kamu sendiri yang bilang mau coba olahraga lain." Seravina mendekatkan tubuh ke arah Deven yang segera bergerak menyeka keringat perempuan itu. "Ya, yang lain. Olahraga ranjang," bisik Seravina kesal.

Setidaknya walau sekesal itu, Deven masih menganggap perempuan ini menggemaskan. Juga dengan caranya berbisik-bisik seperti ini, sepertinya memang ini adalah rahasia mereka berdua saja. "Iya, ayo. Katanya minggu depan?" kekeh Deven.

Deven berjalan membereskan kursi dan dua barbel seberat satu kilo yang tadi dipakai Seravina, membereskannya kembali ke gudang olahraga seakan itu miliknya. Ya, tidak terlalu salah karena beberapa peralatan di sana memang miliknya pribadi agar tidak perlu bolak-balik lagi saat akan latihan. "Itu, kalau kurang ambil minum punya aku di tas! Buka saja," teriak Deven semakin sayup terdengar karena ia sembari berjalan masuk ke dalam gudang.

Seravina sebenarnya tidak terlalu haus, tapi karena lelaki itu tiba-tiba menyiksa otot mungilnya untuk bekerja keras hari ini. Setidaknya Deven juga harus mengorbankan sesuatu. Sebut saja kali ini adalah air mineralnya. Perempuan itu membuka tas enteng lelaki itu, tidak ada isinya selain satu buah buku tulis dan air mineral. Ia memindahkannya sebagian ke botolnya sendiri, lalu meminumnya lagi.

Seravina hendak mengembalikan air mineralnya, saat melihat satu kresek yang terikat di dalam tas lelaki itu. "Oh, ya. Itu hadiah buat kamu," ucap Deven.

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang