01. Sebuah Rasa

766 46 6
                                    

🥇🥇🥇

"Ven, hari ini gas nggak?" Seorang lelaki berambut keriting menyenggol lelaki di sebelahnya yang tengah melamun, terpantau sudah ketujuh kali hari ini. Kalau lamunan Deven berlaku saat di kelas, mungkin kawan-kawannya akan memaklumi saja. Tapi bahkan di kantin, tempat favorit para kaum yang malas belajar seperti mereka, lamunan Deven tetap berlanjut.

"Eh, lo nih ya emang. Awas nanti kesambet kelamaan ngelamun!" sambungnya lagi. "Mikirin apaan, sih?"

Deven, tak mempedulikan ucapan orang sekelilingnya. Ia dengan serius terpaku hanya satu arah. Jauh menerawang, tidak hanya pikiran, kesadaran pun hilang pergi menuju ke sana. Jauh beberapa tahun yang lalu. Tidak ingat kapan tepatnya, tapi Deven tahu dengan jelas yang ia lihat. Seseorang yang identik dengan satu kata.

Duka.

"Iya, kaya yang punya otak aja lo sok-sokan mikir," sahut yang seorang lelaki berpotongan rambut cepak di sebelahnya, kali ini ikut menanggapi sebelum kembali menyantap siomay di piring. Deven berdecak. "Ah, berisik banget lo pada, ya!"

Kantin sekolah hari itu ramai, terlalu ramai hingga Deven pun menyangsikan yang ia lihat dengan mata kepalanya. Perempuan yang ia cari-cari selama ini, muncul di depan mata kepala, hingga Deven sendiri bingung. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Perempuan itu berdiri di depan pintu masuk kantin, seakan menimbang sesuatu dan membuatnya ragu untuk masuk. Dua buku tebal di pelukan, rambut panjang yang tergerai, tertahan sebagian oleh tas ransel besar di punggung. Kardigan gading terkancing rapat seluruhnya.

Deven yakin dengan benar.

Populasi perempuan dengan penampilan seperti itu hanya sepuluh persen di sekolahnya. Prosentase anak-anak yang menduduki peringkat atas. Boro-boro mau tergapai olehnya, bisa bersinggungan untuk satu kerja kelompok yang sama saja pasti hampir tidak mungkin.

"Nel, kenalan cewek lo banyak, kan, ya?" tanya Deven pada Lionel Alwara, salah satu kawan baik Deven karena tali persahabatan bisnis orang tua mereka sangat kuat. "Kayaknya lebih banyak kenalan cewek lo nggak sih? Yang Primadoni sekolah kan elo."

"Tapi seisi sekolah ini kan biasanya lo yang paling punya banyak koneksi."

"Oh, ya jelas dong!" kata Lionel bangga.

"Ya jelas dong, kan, dia butuh cari muka biar tetap jadi anak kepala sekolah!" Riyandi yang duduk di sebelahnya menimpali, sementara Lionel hanya terkekeh. Sudah terbiasa dengan candaan yang selalu dibarengi dengan sindiran.

"Lo mau tau yang mana? Sini biar kakak Onel yang kasih paham."

"Itu, cewek yang di depan pintu kantin." Deven menunjuk arah pintu dengan gerakan kepala. Ketiga temannya yang ada di situ membalikkan badan serentak. Seratus delapan puluh derajat.

Mereka pikir Deven hanya bercanda saat ini, tapi karena sosok yang dicari benar-benar nyata, mereka tidak bisa tidak penasaran. Baru kali ini akhirnya, seorang Deven Tjahyadikarta, Sang Atlet Panahan Sekolah yang digandrungi perempuan-perempuan Sekolah Harapan Bangsa, membicarakan seorang perempuan.

"Hah? Yang mana?"

"Itu kan gengnya si Nanda, mana ada cewek?" Mereka bersamaan menyipitkan mata. Yang satu berdiri dan memajukan tubuh, yang lain memicingkan mata, dan yang terakhir memegang kacamata mendekat supaya dapat melihat lebih jauh lagi. Berharap bisa melihat sosok perempuan yang dibicarakan Deven.

"Sekarang cowok juga lo incer, Ven?" Deven menghela napas keras sebelum menjawab. "Duh, bukan yang itu! Liat dulu yang di ujung! Nah, itu tuh yang udah mau pergi! Cepet, Nel, itu lihat yang bener pakai mata!"

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang