09. Seteguk Pop Ice

389 30 5
                                    

🥇🥇🥇

Dalam hati, Deven sudah menjerit dengan makanan penuh minyak dan gula berjajar rapi di karpet kosan ini. Juga berpikir berapa kalori yang harus dibakar untuk tetap menjaga kebugaran tubuhnya.

Lalu ada lagi Pak Ferryselaku pelatih panahan yang menghantui pikiran. Bagaimana jika Beliau mengetahui apa yang sudah ia makan hari ini menjelang perlombaan? Habis sudah.

Sepertinya ia harus mengatakan kepada Seravina semua isi hati ini sebelum makanan dan minuman yang tidak bergizi ini lebih banyak lagi menguasai tubuhnya. Tapi...

"Aaaa..." Satu huruf yang dikeluarkan Seravina dengan nada panjang dan manja, membuat Deven memajukan tubuhnya. Seakan sudah siap dan menunggu sejak tadi Seravina melakukan hal itu. Deven mangap dengan lebar melahap satu tusuk sotong yang Seravina sodorkan ke arah bibirnya. "Enak, kan?" Deven mengangguk-angguk, membuat Seravina tersenyum puas. Seakan Devenlah yang baru pertama kali mencoba makanan itu.

"Perempuan itu kembali melahap cimolnya, bersatu padu dengan manisnya pop ice. "Kok aneh, ya. Masa minuman dikasih meses gini bisa jadi enak?" tanya Seravina tanpa berhenti mengunyah.

"Iya, soalnya pop ice-nya sendiri udah enak, tambah lagi mesesnya sendiri juga enak. Jadi tambah enak deh semuanya." Makanan yang nggak sehat, kan emang selalu enak, batin Deven.

"Katanya kamu sukanya kopi pahit? Kenapa jadi suka manis-manis gini?"

Deven terus memperhatikan tingkah Seravina. Melirik sesekali ke arah jendela, memastikan apakah masih hujan atau tidak. Lalu kembali bergoyang-goyang saking bahagianya menikmati micin begitu banyak dalam satu waktu yang sama.

"Iya kopi enak bikin nggak ngantuk, terus juga jadi nggak lapar. Tapi sesekali juga aku mau coba pop ice, ternyata enak, ya. Kalo kamu suka kopi juga, nggak?"

"Suka juga. Tapi aku nggak bisa ngopi kalo latihan," Servina mengeryikan dahi. "Kenapa nggak bisa?" Menyuapkan satu tahu bulat terakhir untuknya, lalu sotong untuk Deven. "Kopi suka bikin deg-degan. Kalau begitu nggak bisa fokus panahan. Malah jadi adrenalinnya naik, bukannya semangat malah jadi tegang."

Seravina memonyongkan sedikit bibir bawahnya saja. "Sayang banget, padahal enak loh ngopi." Sedikit mengerti poin yang diucapkan laki-laki itu. Sementara dengan begitu banyak pandangan yang menggemaskan, Deven tidak bisa menghalaukan pikirannya dari bibir Seravina yang mengkilap karena minyak. "Sesuka itu, ya?" Deven mengelap bibir perempuan itu dengan jari jempol, salah satu kesalahan terbesarnya hari ini.

Sekarang tidak hanya ia tahu rasa kenyal bibir itu. Tapi juga teksturnya yang lembut sekali. Saat satu tusuk cimol berada di depan bibirnya, Deven menggeleng pelan. "Kamu makan aja, kamu suka, kan?"

"Nggak, makanan enak itu harus dibagi," ucap Seravina dengan serius. "Terus juga aku nanti malam harus makan lagi di rumah, kalau makan sebanyak ini nanti kekenyangan." Seravina menggoyang-goyangkan cimol di hadapannya. Mangap lebar supaya Deven mengikuti dan benar saja. Lelaki itu membuka mulutnya, dan menerima saja satu 'makanan sampah' itu dicerna ke dalam perutnya.

Masih dengan pandangan yang tak lepas dari bibir Seravina. Sudut bibirnya sedikit terangkat melihat tingkah perempuan itu.

"Deven, tadi aku pinjam uang kamu berapa, ya?" Deven masih tidak lepas memperhatikan bibir dengan serius. Terlebih saat Seravina menjilat sisa micin di ujung bibirnya. Seakan terhipnotis, Deven juga melakukan hal yang sama. Menjilat bibirnya.

Sebisa mungkin ia melawan pikiran bajingannya sendirian. Agar tidak berharap melakukan hal yang lebih, lalu menagih keinginan perempuan itu untuk tidur dengannya.

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang