03. Sepucuk Surat

397 40 0
                                    

🥇🥇🥇

Malam itu, Deven tidak bisa tidur. Berapa jam sudah berlalu semenjak kepalanya menyentuh bantal, berguling kesana kemari dengan selimut yang semerawut seperti isi kepalanya. Tentu saja seharusnya begitu jika ia adalah seorang lelaki normal. Seorang perempuan yang Deven sukai baru saja mengajaknya untuk tidur bersama di pertemuan pertama mereka.

Sebenarnya Deven sendiri tidak bisa dikatakan orang yang normal juga. Saat pertemuan pertama mereka akhirnya terjadi, yang diucapkan tidak hanya salam kenal, tapi disertai sebuah penyataan rasa suka. Bagaimana Seravina tidak kaget?

Kalau hanya ditolak saja, Deven mungkin masih memaklumi. Bahkan jika perempuan itu menamparnya, memaki atau hal lain yang masih berbau dengan penolakan, pasti pikirannya tidak akan sekacau ini. Deven sudah mencoba melemaskan harga dirinya, bersiap untuk ditolak asalkan berhasil menyampaikan rasa sukanya. Nyatanya bukannya ditolak, dirinya malah mendapatkan satu penawaran yang sangat mengejutkan.

Namun sekarang perasaan Deven bahkan lebih aneh lagi. Bukannya merasa jijik, justru Deven merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam relung hatinya. Rasa penasaran bercampur bingung. Rasa takut bahwa sepertinya Seravina memiliki sesuatu yang belum ia ketahui. Hanya bisa menebak-nebak sementara hatinya terus berdebar mengingat tawa itu. Tawa duka yang sama saat pertama kali Deven melihatnya.

Masih banyak lagi waktu yang harus ia lalui untuk bisa menggapai pikiran Seravina. Untuk dapat memahami perempuan itu, Deven tentu harus bekerja lebih keras lagi. Tapi tidak apa-apa. Bukankah sampai sekarang perasaan suka itu tetap tidak berubah?

Ah, mungkin saja. Mungkin ini hanyalah akal-akalan Seravina agar Deven menjauh dengan sendirinya. Jika ada perempuan yang mengajak seorang laki-laki tidur bersama, bukankah terlihat sangat murahan? Seravina, Sang Anak Teladan jelas tidak akan melakukan hal seperti itu.

Besok. Deven harus segera mencari jawabannya besok, dan untuk itu ia harus segera tidur karena waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi.

🥇🥇🥇

Jam istirahat berbunyi. Deven menaruh peralatan panahan dalam gudang, seakan sudah menunggu saat ini tiba. Tidak seperti biasanya, semangat untuk latihan yang biasa berkobar-kobar, hari ini sepertinya menjadi sangat tipis.

Ia mengambil satu tas kertas berukuran kecil berwarna cokelat beserta secarik kertas kecil berwarna kuning tertempel di dalam sana. Deven mengangguk-angguk, terlihat puas dengan kalimat yang telah ia tulis sebelumnya.

Kalau memang permainan Seravina seperti ini, biarlah Deven juga ingin ikut di dalamnya. Pokoknya apapun kalau tentang Seravina. Ia ingin mencoba mengikuti.

Dengan langkah kaki mantap, ia membawa tas kertas itu masuk ke dalam gedung sekolah, masih dengan jersey hitam kemerahan yang ia kenakan. Tak lagi ada waktu untuk mengganti baju, waktunya tidak banyak sebelum pelatihnya akan datang dan latihan berikutnya dimulai.

Latihan intens yang akan terus dijalani selama beberapa bulan ke depan, karena ada satu pertandingan kampus ternama di Yogyakarta akan segera diadakan. Lagi-lagi tidak masuk dalam pelajaran kelas, hanya berkutat di lapangan seharian, bahkan berminggu-minggu dengan melatih otot tangan dan bahu, fokus memanah. Namun demi hari ini, Deven berlari meski waktu yang ia miliki hanya tersisa sepuluh menit saja.

Sesampainya di depan kelas bertuliskan 'XII IPS 1', Deven membuka pintu itu. Masih dengan terengah-engah, ia mengambil alih perhatian dengan kehadirannya, mengundang senyuman para anak perempuan yang tergugah dengan tampilan atletis lelaki itu. Terlebih satu kalimat yang lebih mencengangkan lagi keluar dari mulut Deven.

"Sorry, Seravina-nya ada?"

Hening. Sepertinya mereka salah dengar. Beberapa lelaki yang masih berada dalam kelas melanjutkan aktivitas mereka lagi, bermain kartu di ujung kelas atau i-pad di sisi yang lain. Sementara ada satu orang perempuan yang menghampiri Deven di sana.

CONTiNUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang