***
Minggu, 1 Januari, musim hujan.
Sepi.
Itu yang pertama kali dijumpainya kala memasuki ruangan hampa penuh luka di sebuah rumah tua.
Gelap? Tentu sudah ditemuinya sejak awal masuk ke dalam rumah tua tersebut. Sepanjang itu ia tidak menemukan satu pun cahaya dari sebuah lampu ataupun sebatang lilin.
Orang berpakaian serba hitam itu selalu memperhatikan langkahnya sejak awal memasuki rumah itu. Pelan dan tidak menimbulkan suara selirih apapun. Sebab, orang yang mengenakan masker guna menutupi hidung dan mulutnya juga topi senada itu tahu betul tengah berada di situasi macam apa dirinya di malam ini.
Sebetulnya orang itu bisa saja bergegas lari untuk menuntaskan tujuannya secepat kilat. Sebab di luar, berlian es raksasa tengah mencair mengguyur ibu kota. Deras, bahkan disertai gemuruh petir menggelar. Tentu hal itu membuat suara langkah larinya akan berbaur dengannya. Amblas.
Namun sekali lagi, ia tahu betul situasinya bagaimana. Ia hanya ingin terus berada di jalur aman selama tujuannya belum tuntas.
Orang itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri guna memastikan tidak ada orang lain disekitarnya.
Tidak ada orang lain yang tengah melakukan aktivitas yang sama dengannya.
Jika saja terkaan itu terjadi, maka orang itu harus meyakinkan diri, tentang jalur aman itu telah terusik.
Dirasa sudah aman, orang itu sedikit mempercepat langkahnya memasuki bagian lain di dalam ruangan itu yang hanya terhalang korden.
Kala kilatan petir menyambar memasuki ruangan itu lewat jendela tanpa kaca di sana, disitulah orang itu tahu korden berwarna putih itu sudah tidak lagi berwarna putih mulus. Melainkan banyak noda merah.
Saat sampai, orang itu tidak langsung menemukan apa yang menjadi tujuannya datang ke sini, orang itu malah menemukan pemandangan yang sama seperti di bagian sebelah. Sepi.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kala kilatan petir kembali menyorot, tepat pada saat itulah, orang itu melihat tujuannya berada di sana.
Kedua bola mata itu terpaku melihat anak kecil laki-laki kisaran umur 3 tahun yang terduduk lemah sambil menyenderkan daksanya pada dinding dingin itu. Dengan tangan terlilit berlapis-lapis tali lumayan tebal. Mulut anak itu juga di lakban. Maka dari itu, anak kecil itu yang memang sudah menyadari orang itu datang tidak bisa langsung berteriak meminta tolong atau sekedar memanggil namanya perkara hal tersebut.
Dyar!
Orang itu baru tersadar karena suara petir itu. Tanpa menunggu apa-apa lagi, orang itu langsung mengerahkan semua kekuatan pada kakinya yang tadinya lemas, untuk berlari mendekati anak kecil itu.
Orang itu nampak kesetanan membuka tali yang berlapis-lapis itu menggunakan pisau lipat yang memang dipegangnya sedari awal masuk.
Orang itu juga melepas lakban di mulut si anak kecil itu yang mana hal itu langsung membuat suara isak tangisnya terdengar. Bahkan suara derasnya hujan di luar kalah dengan suara isak tangis tersebut.
Kedua tangan itu merapikan surai yang awalnya halus, kini lengket akibat peluh milik si anak kecil.
Demi apapun, ia tidak bisa menahan air matanya kala melihat bagiamana menyedihkannya orang yang amat sangat disayanginya berada di depannya dengan penampilan seperti itu.
Penampilan yang tidak akan pernah terbayangkan olehnya walaupun satu detik lamanya.
Muka penuh luka lebam, surai acak-acakan juga lengket. Jaket bulu berwarna putih itu sudah berbaur dengan tanah dan entah noda apa saja yang menempel di sana.
Lalu yang paling menyayat hati adalah, orang itu belum pernah melihatnya menangis sesenggukan, ketakutan seperti itu sebelumnya.
"Ayo, kita pulang sekarang" ajak orang itu, suaranya bergetar sebab menahan isak tangis juga buru-buru. Namun sebisa mungkin, bibir itu mengukir senyuman hangat, upaya menyalurkan semangat pada anak kecil itu.
Tangan itu menarik tangan anak kecil tersebut guna menyuruhnya untuk berdiri. Namun, hal itu tidak berlangsung mulus kala anak itu tidak langsung berlari. Melainkan menunjuk arah bagian kiri si orang itu.
Sempat heran sejenak sebelum akhirnya orang itu mengikuti arah tunjuknya.
"Tolong, tolong saya, tolong bawa saya juga..." Suara parau gadis itu, tenggelam dalam kegelapan.
***
-
-
-Vote yok! Tinggal pencet kok..