***
"Sani?"
Hanum menatap penuh harapan bahwa manusia di sampingnya ini adalah sahabatnya semasa SMA dulu.
Sahabat yang mampu merubah sikapnya hanya dengan cara menyibukkannya melakukan sesuatu hal yang tidak penting. Sebagai contoh, keluyuran.
Ziha mengukir senyum hangat sebagai jawaban.
Setelahnya mereka tidak ada menunjukkan respon berlebihan. Hanya menukar senyum hangat andalan mereka.
Senyuman yang mampu mendeskripsikan betapa senangnya mereka bisa bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.
Namun, semuanya nampak begitu cepat bagi mereka. Rasanya baru kemarin lah mereka berpisah hanya untuk menempuh pendidikan lanjut. Tapi sekarang, mereka bertemu kembali di situasi yang tak pernah terduga dan sudah banyak perubahan.
Perubahan status, pahatan muka, perilaku dan semuanya sudah berubah.
Di samping itu, Riyan menatap anak gadisnya yang harus menerima semua ini secara tiba-tiba. Lalu jatuh pada Farel yang sedari tadi hanya menunduk saja.
Agaknya, Riyan tahu mereka berdua sama sekali tidak pernah mengharapkan semua ini akan terjadi. Riyan juga tahu, mereka belum mengenal satu sama lain. Asing. Begitupun Riyan yang baru kali ini lah melihat Farel.
"Mari kita mulai, sebelum waktu baik terlewatkan" penghulu itu berbisik pada Riyan.
"Baik, pak" Riyan menyanggupi walupun berat hati. Berat hati di sini adalah Riyan tidak mau anak gadisnya terjerumus ikatan suci pernikahan dengan cara seperti ini.
Walaupun demikian, tangan itu tetap terulur berharap Farel segera menjabat tangannya. Dan segera melangsungkan acaranya. Namun hal itu tidak berlangsung mulus perkara Farel yang terus menunduk itu tidak menyadarinya.
"Farel"
Panggilan bernada berat itu sukses membuat Farel mendongak hanya untuk menatap wajah Riyan.
Susah payah Farel menelan slivanya hanya untuk mengiringi tangan itu menjabat tangan Riyan yang katanya, Ayahnya Klara.
Seri wajah itu terlihat begitu tercengangnya kala merasakan perbedaan. Di mana suhu badannya Riyan yang terlewat hangat itu tanpa sengaja berpadu dengan Farel yang sudah dingin dan berkeringat.
Riyan menatap tangan itu yang ternyata bergetar hebat. Lalu menatap sang empu. Agaknya, Riyan mampu merasakan bagaimana perasaan Farel sekarang. Gugup, takut, tidak siap, bingung berbaur menjadi satu.
Apalagi semua orang disini tahu tengah berada di situasi macam apa mereka saat ini.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Alfarel Moka Aidan bin Saga Saputra dengan anak saya yang bernama Klara Zaina Sharetta dengan maskawin uang tunai sebesar dua ratus ribu, dan seperangkat alat solat dibayar, tunai"
Farel kembali menelan selivanya sebelum akhirnya menarik nafasnya dalam-dalam "S-saya terima nikahnya Klara Zaina Sharetta dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Ucap Farel tidak ada kesalahan apapun walaupun di awal sedikit gagap.
"Bagaimana para saksi?" Tanya penghulu pada semua saksi.
"SAH!" Balas mereka serentak.
Lega. Namun tidak merasakan senang sama sekali. Cowok yang sekarang sudah menyandang status sebagai suami siri-nya Klara itu kembali menunduk. Nampak banyak sekali beban di sana. Namun Farel tidak bisa menjabarkannya satu persatu untuk sekarang.
Klara pun serupa. Gadis itu menatap lambat Farel. Sorot mata itu sudah jelas mengatakan Klara sama sekali tidak percaya Farel sudah sah menjadi suaminya di mata agama. Dan lagi, mengingat semuanya, Klara sangat ingin Farel pergi dan semua ini bisa dirubah.