Tiga

34 3 0
                                    

***

Memasuki hari liburnya umat sejagad raya yang masih bisa bernafas lega. Seno-Rt di kompleks perumahan Gedung Waru selalu memiliki tugas penting untuk berkeliling.

Seperti saat ini, pria berkumis tebal yang diduga berusia 50 tahun itu sibuk merapikan diri di depan cermin salah satu rumah warga. Rumah yang sudah menjadi target kunjungannya yang ke-10 di pagi ini.

Kedua alis itu naik turun menggoda dirinya sendiri usai menyadari penampilannya sudah memuaskan hati. Batik coklat berlengan dengan celana bahan hitam sangat-sangat membuatnya bangga juga elegan.

Seno melirik pintu utama yang tengah terbuka lebar. Lalu beralih pada jam tangan hitam di pergelangan tangannya. Menandakan Seno tengah menunggu sesuatu.

Tidak lama kemudian. Keluarlah manusia yang berpuluh-puluh tahun lebih muda darinya dengan buku batik di tangannya.

Sedari tadi Seno menunggu manusia itu. Katakanlah, manusia bernama Dino itu bawahannya. Yang mana pada dasarnya Dino adalah anak kandungnya.

"Nih, pegang!" Dino menyodorkan buku batik itu kepada Seno yang tengah tersenyum bangga padanya.

"Harusnya tuh sekarang Dino lagi apel sama ayang! Bukan nagih utang!" Dino bersungut-sungut.

"Halah... Apel-apel! Nggak ada faedahnya, mending nagih utang udah jelas kamu dapet bayarannya" saut Seno sambil sibuk melihat isi buku batik itu.

"Sepuluh rebo! Sekarang buat beli apa duit segiiitu!" Imbuh Dino melotot.

"Lumayan nasi rames pake telor" tambah Seno percaya diri.

Hempasan nafas itu terdengar dari Dino bersamaan dengan Seno yang mulai melenggang. Lirikan setan itu menjadi awalan sebelum akhirnya Dino tantrum di tempatnya. Menyadari Ayahnya itu betulan super duper ngeselin abiess dari dulu sampai sekarang.

Jika bukan karena Seno sudah menafkahinya sedari orok, sudah pasti Dino akan mengatakan dirinya amat sangat menyesal menjadi manusia penurut.

Target selanjutnya adalah rumah kediaman keluarga Saga. Bukan Saga atau keluarganya yang berhutang. Melainkan satpam di rumah itu. Sedikit kok utangnya, hanya 10 ribu. Tapi sudah sepuluh hari tidak pernah di lunasi.

Seno yang memang berangkat duluan tentu sudah berdiri di depan rumah tersebut lebih awal. Anteng meneng menunggu Dino datang.

"Udah tua tapi jalan masih extra" Dino usai sampai di samping Seno dengan nafas ngos-ngosan.

"Remaja jompo!" Seno melirik anaknya "Sana masuk, nih!" Seno memberikan buku batik itu kepada Dino.

Dino berdecak singkat sebelum akhirnya mengambil alih buku batik itu. Cowok berkaos putih dengan celana cream pendek itu melangkah mendekati gerbang.

Baru saja Dino membuka gerbang itu dan hendak melangkah. Tapi Dino lebih dulu mendengar suara hantaman yang lumayan keras untuk jarak sejauh itu.

Brak!

Refleks, Dino menatap sumber suara perkara shok. Begitupun Seno yang tidak kalah shoknya dengan anaknya itu.

Tanpa tadi alih-alih, Dino dan Seno langsung berlari menuju sumber suara dengan rasa penasaran dan lainnya yang tentunya tertuju pada dua kata "Ada apa?"

"Aaaaa! Sakit woi!"

"Biarin gue berdiri cok!"

"Ah! A! Ah!"

Betapa terkejutnya mereka ketika suara itu yang terdengar usai mereka sampai di depan pintu samping rumah itu. Terlebih lagi, pintu itu tertutup rapat.

Mereka tergugu.

ALFAREL Where stories live. Discover now