Raya berjalan menyusuri lorong sekolah, kepalanya tertunduk, rambut hitam panjangnya tergerai seakan tirai yang memisahkannya dari dunia sekitar. Mata cokelatnya yang biasanya bening, kini sayu dan kosong. Kecelakaan maut dua tahun lalu masih meninggalkan jejak luka yang menganga di hatinya. Saat itu, malam kelam yang diguyur hujan deras, mobil yang ditumpangi orang tuanya beradu dengan truk tronton yang hilang kendali. Suara hantaman keras yang terngiang di telinganya seakan menjadi soundtrack pengingat akan kejadian tragis itu.
Raya masih ingat dengan jelas detik-detik sebelum kecelakaan. Kala itu, dia merengek meminta dibelikan boneka beruang lucu di pusat perbelanjaan. Ayahnya yang selalu memanjakannya mengalah, sementara sang ibu dengan lembut mengingatkan agar Raya tidak terlalu manja.
Sorak Raya pecah saat ayahnya berhasil memenangkan boneka itu dalam mesin capit. Perjalanan pulang diwarnai nyanyian riang mereka bertiga, lagu kesukaan Raya yang bercerita tentang seekor anak kelinci dan impiannya terbang ke bulan.
Namun, takdir berkata lain. Hujan deras dan jalanan licin membuat segalanya berubah seketika. Truk yang melaju kencang itu hilang kendali dan menghantam mobil mereka dari arah berlawanan. Raya tersadar di rumah sakit, tubuhnya penuh luka dan lebam, namun yang paling menusuk hatinya adalah kabar kedua orang tuanya yang tak bisa diselamatkan.
Sejak saat itu, dunia Raya seakan runtuh. Dia tinggal bersama Bibi Sarah dan Paman Genta, kerabat jauh yang tinggal di kota kecil ini. Keduanya sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil. Kehadiran Raya menambah beban bagi mereka. Kasih sayang yang Raya harapkan tak pernah didapatkan. Bibi Sarah kerap mencibir dan menyalahkan Raya atas kematian orang tuanya. Paman Genta lebih banyak diam, seakan tak ingin terlibat urusan ini.
Di sekolah, Raya menjadi anak yang pendiam dan penyendiri. Teman-temannya yang dulu ceria dan suka bermain dengannya kini menjauhinya. Mereka berbisik-bisik di belakangnya, menyebut Raya sebagai
"anak yatim piatu" dan "pembawa sial." Raya hanya bisa tertunduk diam, menahan tangis yang mengancam akan tumpah.
Setiap malam, kamar Raya menjadi istana air matanya. Dia memeluk boneka beruang pemberian ayahnya, air matanya membasahi bulu boneka itu. Kamar yang dulu terasa penuh dengan kehangatan orang tua kini menjadi pengingat akan kesepian yang tak berujung.
Suatu sore, saat jam istirahat, Raya duduk sendiri di bangku taman sekolah. Dia memeluk lututnya, menatap kosong ke arah lapangan basket. Tiba-tiba, bola basket liar menggelinding ke arahnya dan berhenti tepat di depan kakinya.
Raya mendongak dan melihat seorang laki-laki berdiri beberapa meter darinya. Laki-laki itu tersenyum ramah, dengan dua lesung pipit menghiasi pipinya. Rambutnya yang sedikit acak-acakan terlihat seperti habis terkena terpaan angin kencang.
"Maaf, bolanya nyasar ke sini ya?" kata laki-laki itu dengan suara lembut.
Raya terdiam sejenak, masih terkejut dengan kehadirannya. "Iya," jawabnya pelan.
Laki-laki itu mengambil bolanya dan mengulurkan tangannya ke arah Raya. "Gue Raffa Bryantara. Kenalin."
Raya ragu-ragu, tapi kemudian dia membalas uluran tangan Raffa. "Raya Adelia."
Senyum Raffa semakin lebar. "Gue baru pindahan. Boleh duduk di sini nggak?"
Raya mengangguk pelan. Ini pertama kalinya ada yang mengajaknya berkenalan dan ingin berteman dengannya sejak kecelakaan itu. Perlahan, secercah harapan mulai muncul di dalam hatinya. Mungkin, di sekolah ini, dia bisa menemukan kembali arti persahabatan, sesuatu yang selama ini hilang darinya.
Raffa duduk di samping Raya, bola basketnya dipegang di pangkuannya. "Gue pindah dari Jakarta. Kalo lo, udah lama tinggal di sini?"
Raya mengangguk. "Sejak kecil."
"Wah, gue beruntung nih bisa kenalan sama orang asli sini. Gue masih banyak yang belum tau tentang kota ini."
Raya tersenyum tipis. "Gue bisa bantu kok kalo lo butuh informasi."
Raffa membalas senyum Raya. "Makasih banyak, Raya. Gue seneng banget bisa ngobrol sama lo."
Raya merasakan kehangatan dalam hatinya. Percakapannya dengan Raffa terasa begitu mudah dan mengalir. Dia tidak merasa canggung atau dihakimi seperti saat bersama teman-temannya yang lain. Raffa mendengarkannya dengan penuh perhatian, seakan ingin memahami semua
Percakapan Raya dengan Raffa terus mengalir. Mereka bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Raffa menceritakan tentang masa kecilnya di Jakarta yang penuh dengan keceriaan, sedangkan Raya menceritakan tentang kesedihannya setelah kehilangan orang tua. Raffa mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan kata-kata penyemangat untuk Raya.
Raya merasa nyaman berada di dekat Raffa. Dia merasa Raffa adalah orang yang tulus dan dapat dipercaya. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Raya merasakan secercah harapan untuk masa depannya.
Bel berbunyi, menandakan berakhirnya jam istirahat. Raya dan Raffa harus kembali ke kelas masing-masing.
"Nanti kita ngobrol lagi ya?" tanya Raffa dengan nada penuh harap.
Raya tersenyum. "Iya, boleh."
Raffa melambaikan tangannya kepada Raya, kemudian dia berjalan menuju gedung kelasnya. Raya menatap punggung Raffa yang menjauh, hatinya dipenuhi dengan perasaan yang tak terlukiskan.
Cerita ini di buat dithn 2019.
Tbc..

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Hope [END]
Short StoryRaya percaya semesta bergerak lambat dengan harapan kecilnya, ia dan dia bisa mengwujudkan mimpi mereka. . . © by.sastany 2019 picture by pinterest.