Ch 2

0 1 0
                                    

Hari-hari Raya mulai berwarna sejak kehadiran Raffa. Mereka sering menghabiskan waktu istirahat bersama, mengobrol dengan topik ringan seperti film kesukaan atau cita-cita masa depan. Raffa yang ceria dan penuh semangat perlahan mampu menarik Raya keluar dari cangkang dunianya yang sunyi.

Raffa bercerita tentang kehidupannya di Jakarta, tentang teman-temannya yang bawel dan hobi bermain basket, dan tentang mimpinya menjadi seorang musisi. Raya mendengarkan dengan antusias, sesekali tertawa renyah menanggapi cerita-cerita Raffa.

Suatu hari, saat jam makan siang, mereka duduk di kantin sekolah. Raya mencocol-cocolkan makanannya dengan malas, tidak bersemangat. Raffa yang jeli memperhatikan hal itu.

"Kenapa? Kok nggak dimakan sih?" tanya Raffa sambil menunjuk kotak bekal Raya.

Raya menghela napas. "Bibi masak sayur bayam lagi. Aku udah bosen."

Raffa manggut-manggut mengerti. "Emangnya kamu nggak bisa masak sendiri di rumah?"

Raya menggeleng pelan. "Bibi sibuk ngurus anak-anaknya. Aku nggak mau ngerepotin."

Raffa tersenyum. "Kalau gitu, besok aku bawain bekal ekstra deh. Kita makan bareng ya!"

Raya terkejut mendengar tawaran Raffa. "Hah? Nggak usah repot-repot, Ra."

"Nggak papa kok. Lagian mamaku sering masakin lebih banyak. daripada mubazir, mending kita bagi-bagi aja."

Raya tak bisa menolak kebaikan Raffa. Keesokan harinya, saat jam istirahat, Raffa datang dengan dua kotak bekal. Mereka duduk di bangku taman seperti biasa, menikmati bekal buatan mama Raffa yang ternyata sangat lezat.

Raffa bercerita bahwa mamanya pandai memasak berbagai macam masakan. Dia bercita-cita kelak nanti bisa membuka restoran sendiri. Raya mendengarkan dengan takjub. Sejak orang tuanya tiada, dia tidak pernah lagi merasakan masakan rumah yang penuh dengan kehangatan.

Hari demi hari, persahabatan Raya dan Raffa semakin erat. Raffa tak hanya menjadi teman mengobrol, tetapi juga menjadi tempat bercerita bagi Raya. Dia mulai berani menceritakan tentang kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuanya dan perlakuan tidak menyenangkan yang diterimanya dari Bibi Sarah.

Raffa mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Dia tidak menyalahkan Raya atas kejadian yang menimpa orang tuanya. Sebaliknya, dia memberi semangat kepada Raya agar tetap tegar dan berusaha menjalani hidup ke depan.

Raffa juga mengajak Raya bergabung dengan klub musik yang baru dibentuknya bersama beberapa teman sekelas. Awalnya, Raya ragu-ragu karena tidak memiliki bakat bermusik. Namun, Raffa terus meyakinkannya.

"Kamu bisa belajar main keyboard, Ray. Nggak harus jago kok. Yang penting kita bisa bersenang-senang bareng."

Akhirnya, Raya pun memberanikan diri bergabung dengan klub musik tersebut. Meski kaku pada awalnya, perlahan Raya mulai menikmati alunan musik yang dimainkan bersama teman-temannya. Klub musik itu menjadi wadah baru bagi Raya untuk menyalurkan emosinya dan melupakan kesedihan yang selama ini dipendamnya.

Kehadiran Raffa membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan Raya. Sinar harapan mulai terlihat di mata Raya. Dia tidak lagi terkungkung oleh kesedihan masa lalu. Perlahan tapi pasti, Raya mulai bangkit dan belajar untuk membuka hatinya kembali.

Namun, kebahagiaan Raya tidak berlangsung lama. Suatu hari, saat pulang sekolah, Raya melihat Raffa dikerumuni beberapa anak laki-laki di gang sempit. Raffa tampak ketakutan dan berusaha melawan. Tanpa pikir panjang, Raya berlari ke arah mereka dan berusaha melerai perkelahian.

"Stop! Apa yang kalian lakukan?" teriak Raya dengan suara tegas.

Anak-anak laki-laki itu terkejut melihat Raya. Salah satu dari mereka mendorong Raya hingga terjatuh ke tanah. Raffa segera membantu Raya berdiri.

"Raya, kamu nggak apa-apa?" tanya Raffa dengan khawatir.

Raya menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik aja. Ayo, kita pergi dari sini."

Raffa dan Raya berlari meninggalkan gang sempit itu. Mereka tidak berani kembali ke jalan utama karena takut bertemu dengan anak-anak laki-laki tadi. Akhirnya, mereka memutuskan untuk bersembunyi di taman kota.

Raffa menceritakan kepada Raya bahwa anak-anak laki-laki tadi sering mengganggunya. Mereka selalu meminta uang jajan dan bahkan pernah mengambil barang-barang Raffa. Raffa takut untuk melapor kepada guru karena dia tidak ingin dianggap pengecut.

Raya merasa kesal mendengar cerita Raffa. Dia tidak tega melihat sahabatnya diperlakukan dengan semena-mena.

"Besok aku temenin kamu ke sekolah, Ra," kata Raya dengan penuh tekad.

"Kita nggak boleh takut sama mereka."

Raffa tersenyum lega. "Makasih, Ray. Aku senang kamu mau bantuin aku."

Keesokan harinya, Raya dan Raffa berjalan berdampingan menuju sekolah. Raffa merasa lebih berani dengan kehadiran Raya di sisinya.

Saat mereka sampai di gerbang sekolah, Raffa melihat anak-anak laki-laki yang kemarin mengganggunya sedang duduk di bangku taman. Raffa menarik napas dalam-dalam dan bersiap untuk menghadapinya.

"Raffa, kamu ke sini!" teriak salah satu anak laki-laki.

Raffa melangkah maju dengan tegap. "Apa lagi yang kalian mau?" tanyanya dengan suara tegas.

Anak-anak laki-laki itu terdiam sejenak, terkejut melihat keberanian Raffa. Raya yang berdiri di samping Raffa pun menatap mereka dengan tatapan tajam.

"Kita cuma mau minta uang jajan," kata salah satu anak laki-laki dengan suara pelan.

"Nggak akan!" tegas Raffa.

"Kalian sering mengambil barang-barangku. Aku tidak akan memberikan uangku kepadamu lagi."

Anak-anak laki-laki itu terlihat kesal. Salah satu dari mereka mendorong Raffa hingga terjatuh ke tanah. Raffa berusaha bangkit, tetapi anak-anak laki-laki itu terus menerus menendangnya.

Raya tidak bisa tinggal diam melihat sahabatnya dianiaya. Dia maju ke depan dan berdiri di hadapan anak-anak laki-laki itu.

"Hentikan!" teriak Raya dengan suara lantang.

"Kalian tidak boleh mengganggu Raffa lagi."

Anak-anak laki-laki itu terdiam sejenak, terkejut melihat keberanian Raya. Salah satu dari mereka menatap Raya dengan tatapan sinis.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanyanya dengan nada menantang.

Raya menatap anak laki-laki itu dengan tatapan tegas. "Aku akan melapor kepada guru dan kepala sekolah. Kalian akan mendapat hukuman atas perbuatan kalian."

Anak-anak laki-laki itu terlihat ketakutan. Mereka tidak ingin mendapat hukuman dari guru dan kepala sekolah. Akhirnya, mereka pun pergi meninggalkan taman itu.

Raffa bangkit dari tanah dan menghampiri Raya. "Makasih, Ray. Kamu telah menyelamatkanku."

Raya tersenyum. "Itu sudah tugasku sebagai sahabatmu."

Raffa dan Raya kemudian berjalan masuk ke dalam sekolah. Mereka merasa lega karena telah berhasil menyingkirkan anak-anak laki-laki yang nakal itu. Sejak saat itu, anak-anak laki-laki itu tidak berani lagi mengganggu Raffa.

Keberanian Raya dalam membela Raffa semakin mempererat persahabatan mereka. Mereka saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Sinar harapan di mata Raya semakin terang. Dia mulai yakin bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai rintangan di hidupnya.




Tbc.

Dear Hope [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang