★ 01 : Angry

34 6 0
                                    

Keep vote & komen, guys, tysm!

___________________

Detik demi detik, menit demi menit terus berlalu. Artha enggan melepaskan pandangan dari benda bulat yang tertempel di atas papan tulis itu, menunggu pukul tiga sore tiba. Perhatiannya bahkan teralihkan dari guru yang kini menjelaskan di depan kelas.

Seraya mengetuk-ngetukkan jari jemarinya ke meja, Artha berhitung dalam hati. Tinggal beberapa detik lagi dan bel pulang akan berbunyi. Lelaki itu sudah menantikannya sejak tadi.

Satu detik,

Dua detik,

Tiga detik,

Empat detik,

Hingga di detik ke lima, barulah bunyi nyaring dari benda berwarna merah di ujung kelas terdengar. Dengan spontan, Artha berdiri dari duduknya dengan tergesa-gesa. Ia bahkan sudah melangkahkan kakinya keluar dari kelas, bahkan guru yang baru saja mengajar di buat keheranan oleh tingkah lelaki itu.

Bisa di bilang, Artha itu datang ke sekolah hanya untuk bermain dan menunggu bel pulang saja. Jadi itu hal biasa bagi mereka. Hanya saja, hari ini, Artha terlihat lebih buru-buru dari biasanya. Seperti di kejar oleh sesuatu.

“Artha! Ya, elah, main tinggal aja!” kesal Haidar seraya berlari menyusul sahabatnya itu.

Haidar dan Artha memiliki tinggi yang sama, jadi lelaki itu bisa dengan cepat mengimbangi langkah besar sahabat karibnya itu.

Keduanya berjalan menelusuri lorong, dengan Artha yang terlihat gelisah. Haidar ingin bertanya sebenarnya, namun hal itu ia urungkan kala melihat raut serius dari Artha.

Artha memang bukan tipikal lelaki yang terlalu serius, hidupnya penuh dengan bercanda. Jadi wajar saja Haidar merasa seperti itu. Apalagi ia sudah berteman dengan lelaki itu sejak mereka baru menginjak bangku SD.

“Ruang osis di mana?” tanya Artha secara tiba-tiba, membuat lelaki di samping tersadar dari lamunannya.

Haidar menyatukan kedua alisnya. “Lo mau ngapain?”

Artha menghentikan langkahnya, membuat Haidar ikut berhenti. Ia kemudian membalikkan badannya menghadap kearah sahabatnya itu. Berdecak kesal sebelum memperjelas pertanyaannya.

“Nyamperin Khanza, sekretaris osis.”

Haidar mengangguk paham, “di lantai dua.”

Usai mendengar jawaban Haidar, Artha segera mempercepat langkahnya menuju lantai dua. Lelaki itu ingin segera meminta maaf kepada Khanza usai kejadian pagi tadi. Tadi siang, ia tidak menemukan gadis itu, jadi dengan terpaksa Artha harus menunda sesi minta maaf nya.

Tak butuh waktu lama, akhirnya kedua lelaki itu tiba di depan ruang osis. Artha mengintip sedikit dari jendela, ruangan bernuansa biru keputihan itu sudah nampak sepi, hanya ada Khanza dan seorang gadis yang menjabat sebagai bendahara osis saja, Viona.

“Lo serius, Tha? Khanza, tuh, emosian. Mana mungkin dia mau maafin lo segampang itu,” ujar Haidar membuat langkah Artha yang hendak memasuki ruangan itu terhenti.

Artha membalikkan tubuhnya, lalu berpikir sejenak. Ya, Khanza memang dikenal sebagai orang yang tegas, apalagi dia mudah terpancing emosi. Pasti Khanza tak akan memaafkannya semudah itu, seperti perkataan Haidar barusan. Namun, Artha sudah membulatkan tekadnya. Ia salah, jadi ia harus bertanggungjawab.

Best Mistake ★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang