★ 04 : Weekend

13 4 0
                                    

Keep vote & komen, please!

____________________

Sesuai seperti rencana Artha kemarin, hari ini lelaki itu berniat untuk bermalas-malasan saja di rumah. Namun, niatnya itu harus ia urungkan kala gadis kecil bernama Alula itu datang ke kamarnya dan mengajaknya pergi keluar dengan embel-embel menemaninya bermain di Playground.

Ya, tentu saja Artha tidak dapat menolaknya. Jadi sebagai seorang kakak yang baik hati, Artha harus merelakan waktu berharganya untuk pergi ke mall pada siang yang terik ini.

Kini, ia dan Alula sudah berada di salah satu mall yang terletak di pusat Kota Jakarta. Tentunya, sebelum pergi lelaki itu mengajak adiknya untuk makan siang terlebih dahulu, mengingat terakhir kali gadis kecil itu makan pada pagi hari tadi. Artha tak ingin ia di marahi habis-habisan oleh sang ibunda karena adiknya itu mengadu yang tidak-tidak.

Sekarang, keduanya tengah duduk manis di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal di mall itu. Artha memperhatikan sejenak adiknya yang tengah makan itu, area mulutnya benar-benar belepotan karena makanan. Lelaki itu meraih dua lembar tisu yang ada di meja, lalu mengelap mulut Alula yang kotor.

“Kalau makan pelan-pelan, Lula,” peringatnya membuat gadis kecil itu tersenyum hingga memperlihatkan deretan gigi rapinya.

“Maaf, Abang. Lula pengen cepet-cepet main soalnya.”

Artha menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan adiknya itu. Keduanya kembali melanjutkan makan di temani dengan ocehan tak penting yang keluar dari mulut Alula. Tugas Artha hanyalah mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

Tak berselang lama, akhirnya sesi makan siang itupun selesai. Artha dan Alula berjalan beriringan mengelilingi mall dengan tangan Artha yang memegangi tangan kecil adiknya itu. Berjaga-jaga jika anak yang berstatus sebagai adiknya itu menghilang.

Kaki keduanya terus melangkah, hingga berhenti di sebuah tempat permainan anak-anak, Playground. Usai melakukan pembayaran, Alula masuk ke dalam dengan riang, di temani Artha sebagai pendampingnya.

Artha tahu bahwa anak-anak seumuran Alula sedang di masa aktifnya, jadi lelaki itu lebih memilih duduk diam di pojokan seraya mengawasi sang adik. Sesekali ia juga akan membuka ponselnya bila merasa bosan.

Dari kejauhan, ia mengawasi Alula, jaga-jaga bila anak kesayangan ibunya itu terluka atau terjatuh sangking aktifnya. Namun, tiba-tiba saja atensinya teralihkan pada seorang gadis yang baru saja memasuki area bermain.

Crop top berwarna putih polos dengan cardigan berwarna cokelat muda yang menutupi lengannya, serta celana jins pendek yang ia kenakan benar-benar membuat gadis itu terlihat menawan. Di tambah lagi rambutnya yang ia gerai dan make-up tipis naturalnya. Sepertinya, Artha akan lupa sejenak bahwa gadis cantik itu merupakan si sekretaris osis yang galaknya melebih sang ibunda, Khanza.

Gadis itu masuk di temani seorang anak lelaki yang nampak lebih muda darinya. Dengan senyum merekah, anak itu berlari mendekati area seluncuran, di susul dengan Khanza.

Artha menyadari, bahwa ini kesempatan untuk dirinya mendekati Khanza. Lelaki itu sontak berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekati gadis yang kini tengah berdiri di samping perosotan, mengawasi anak yang di bawanya.

“Itu anak lo?” tanyanya secara tiba-tiba yang justru mendapatkan lirikan sinis dari Khanza, seolah-olah tak suka dengan pertanyaan itu.

“Nggak! Dia keponakan gue!” jawabnya tegas yang membuat Artha tersentak beberapa saat.

Lelaki itu mengangguk paham. “Oh, muka dia sama lo mirip soalnya.”

Kekesalan Khanza semakin bertambah tatkala mendengar penuturan lelaki itu. Ini dia saja yang terlalu sensitif atau Artha yang terlalu menyebalkan?

“Ya, 'kan papanya kakak gue!” kesalnya yang mendapatkan cibiran dari lelaki itu.

“Santai aja, kali jawabnya. Nggak usah ngegas, dong!”

Gadis itu berbalik, menatap Artha di dengan malas. “Ya, lo juga ngegas, Arthayasa!”

“Aunty Zaa, Dirga laper.” Suara seorang makhluk kecil yang tak lain dan tak bukan adalah keponakan Khanza itu terdengar.

Gadis itu berbalik menatap anak itu, lalu mensejajarkan tingginya dengan anak bernama Dirga itu. “Ya udah, kita cari makan, ya.”

Dirga mengangguk dengan semangat. “Makan ramyeon boleh nggak?”

“Boleh-boleh, yuk!”

“Eh, kalian mau cari makan, ya? Gue ikut dong, kebetulan belum makan,” ujar Artha yang tiba-tiba saja bergabung ke dalam obrolan keduanya. Tentu saja Artha berbohong mengenai dirinya yang belum makan, padahal sekarang perutnya saja sudah penuh dengan makanan.

Dirga tersenyum senang kala menyadari kehadiran lelaki itu. “Halo, Kak! Aku Dirgantara Chandra, keponakannya Aunty Zaza. Kalau kakak mau ikut boleh, kok!”

“Kakak pacarnya Aunty Zaza, ya?”

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Dirga barusan, Artha lantas menggelengkan kepalanya dengan keras. Jangankan menjadi kekasih Khanza, dekat dengan gadis itu saja tidak bisa. “Eh, bukan! Kakak bukan pacarnya Kak Zaza, kakak cuma temennya, kok. Kebetulan ketemu di sini.”

Anak kecil itu mengangguk paham. Khanza tak habis pikir, bisa-bisanya anak itu menyetujui ucapan Artha untuk makan bersama dengan entengnya. Padahal, ia saja baru pertama bertemu dengan lelaki itu.

“Gue ikut kalian, ya. Bentar, gue panggil adek gue dulu,” katanya sebelum pergi.

Menyadari kepergian Artha, Khanza lantas bertanya kepada keponakannya itu. “Dirga, kok, kamu langsung mau, sih, setuju sama tawaran Kak Artha?”

Dirga menyatukan kedua alisnya sebentar, lalu mengubahnya ke bentuk semula. “Oh, jadi nama kakak ganteng itu Kak Artha? Ganteng banget orangnya, makanya Erik langsung setuju!”

Rahang Khanza serasa ingin jatuh ketika mendengar jawaban di luar nalar dari seorang anak kecil seperti Dirga. Ia tahu Artha itu tampan. Dia tinggi, matanya setajam serigala, kulitnya berwarna tan, apalagi bahu nya yang lebar bisa di jadikan tempat sandaran. Khanza jadi bisa membayangkannya.

Tak berselang lama, Artha akhirnya datang kembali bersama Alula yang kini kesal karena ulah sang kakak yang tiba-tiba saja mengajaknya ke suatu tempat.

Sorry lama, anaknya susah di cari.”

Alula berdecak kesal. “Abang, kita mau kemana, sih!?”

“Lho, tadi katanya Lula pengen makan?” tanyanya bersandiwara.

“Ih, Abang! Tadi, 'kan kita udah—” Dengan cepat, Artha membekap mulut sang adik, tak ingin anak itu keceplosan.

Tentu saja hal itu di hadiahi tatapan heran dari Dirga dan Khanza.

“Mending kita langsung nyari makan, deh!” ucapnya dengan cepat, tak ingin Alula kembali mengatakan fakta mengenai kebohongannya.

To Be Continued
____________________

Hayo loh, Khanza!👀

Artha sampe rela boong, lho!

Hehew, see u in the next cHaApteR!!

Best Mistake ★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang