Sampai sekarang, Khanza masih bertanya-tanya ; mau di bawa kemana hubungan dirinya dengan Arjuna yang tidak memiliki ujung itu?
Terkadang, gadis itu berpikir bahwa mungkin saja ia adalah satu-satunya gadis yang menempati hati Arjuna. Keduanya sangat dekat dan sudah saling mengenal sejak kelas sepuluh. Khanza bahkan mengakui perasaannya pada Arjuna, begitupun sebaliknya. Tetapi, gadis itu masih bingung dengan arah hubungan dirinya dengan lelaki yang menjabat sebagai ketua osis itu.
Jika ingin, keduanya bisa saja menjalin hubungan, tetapi peraturan osis yang sangat menentang hubungan sepasang kekasih di organisasi yang sama lah yang menjadi hambatan. Peraturan itu sudah ada sejak dulu, dan tidak pernah berubah.
Khanza dan Arjuna benar-benar terlihat seperti pasangan yang sedang di mabuk asmara, pada nyatanya, kedua remaja itu hanyalah sahabat biasa. Tetapi, memangnya ada sahabat yang sangat perhatian dan protektif seperti Arjuna Pangestu? Tidak ada.
Mungkin, jika mengantar jemput tidak masalah, itu hanya hal biasa. Tetapi pertanyaannya sahabat mana yang se-protektif dan se-posesif Arjuna? Menaruh seluruh atensinya hanya pada gadis dengan surai panjang berwarna hitamnya itu. Seakan-akan gadis itu adalah kehidupannya, pusat dunianya.
Desas-desus akan hubungan mereka juga sudah sering terdengar, tetapi orang-orang hanya menganggap itu hal biasa, walaupun kenyataannya hal itu tidak wajar. Arjuna selalu melarang Khanza memakai pakaian terbuka, gadis itu harus selalu mengabarinya dua puluh empat jam, sleep call dengan nya, bahkan melarang Khanza bepergian tanpa izinnya.
Khanza tidak risih, tetapi dia juga tidak senang. Gadis itu merasa sikap Arjuna terlalu berlebihan untuk di sebut 'sahabat' saja. Kenapa mereka tidak menjalin hubungan saja? Itulah yang Khanza pikirkan. Tetapi, Khanza hanya bisa pasrah. Entah dirinya akan bersama dengan Arjuna atau tidak, itu adalah jalan takdir.
Terkadang juga gadis itu merasa takut akan hubungannya dengan Arjuna yang bersembunyi di balik kata 'persahabatan'. Ia takut sikap berlebihan lelaki itu akan membuat hubungan mereka merenggang, apalagi status hubungan mereka belum ada kejelasan, masih saja tertutupi dengan kata sahabat, alias friend zone.
Seperti sekarang, keduanya tengah berada di belakang sekolah, membahas sesuatu yang menurut Khanza tidak sepenting itu.
“Lo kemana kemarin? Kenapa enggak ngabarin gue? Lo balik sama siapa?”
Gadis itu berdecak kesal, ia mengerucutkan bibirnya. “Nanyanya satu-satu, Jun. Gue jawab yang mana dulu?”
“Lo kemana kemarin?” tanya lelaki itu dengan sorot mata tajam.
“Ke rumah.” Khanza memang menjawab jujur,—tetapi sebagian saja—sebelum pergi ke rumah Artha, gadis itu pulang ke rumahnya lebih dahulu, mengambil kue yang di buatnya tanpa mengganti seragam sekolahnya. Masalahnya tidak mungkin ia mengatakan bahwa kemarin dirinya pergi ke rumah Artha untuj menjenguk lelaki itu, bisa-bisa Arjuna marah, sebab lelaki itu tak begitu menyukai sosok Arthayasa, masih mendendam akan kejadian yang menimpa Khanza.
Arjuna berdecak kesal. “Bohong. Gue tanya, lo kemarin dari mana?”
Ya ampun! Jika lelaki itu sudah menunjukkan sisinya yang ini kepada Khanza, rasanya gadis itu menjadi gugup sekaligus takut, terbukti dengan Khanza yang tak menatap matanya saat berucap.
“Gue ... gue ke rumah Artha.”
Mendengar hal itu, lelaki itu lantas terkekeh tak percaya. Kemarin-kemarin gadis itu masih marah pada sosok Artha, sekarang sudah berbaikan memangnya?
“Gue enggak suka lo bohong, Khanza. Terus kenapa lo enggak ngabarin gue? Lo juga enggak izin, udah berkali-kali gue bilang jangan pernah pergi tanpa seizin gue!” serunya yang membuat gadis itu tersentak kaget sekaligus tak suka.
Sejujurnya, Khanza tak begitu suka dengan sikap Arjuna yang terlalu protektif kepadanya. Mereka ... hanya sebatas sahabat.
Khanza mendongak, menatap marah kearah lelaki itu. “Lo kenapa sih, Jun!? Dikit-dikit marah kalau gue pergi bareng cowok, jangankan cowok, pergi bareng temen cewek aja dan enggak ngabarin lo udah marah aja. Lo, tuh, langsung marah tanpa dengerin penjelasan gue!”
“Karena gue enggak suka lo pergi sama cowok lain, Khanza!” bentak Arjuna yang mengundang kekehan hambar dari Khanza.
“Arjuna Pangestu, sampai sekarang gue masih bingung di mana otak lo. Kalau lo emang sahabat gue, harusnya lo enggak segini nya, tau enggak! Kita emang saling suka, tapi enggak pernah menjalin hubungan, 'kan!?”
“Gue paling enggak suka lo kayak gini. Apa tanggapan orang-orang tentang sikap lo ke gue dalam artian sahabat?” lirih gadis itu.
“Bullshit tentang tanggapan dan pendapat orang-orang tentang kita, gue enggak peduli!” Lelaki itu mencekal pergelangan tangan Khanza dengan kasar dan kuat, membuat sang empu meringis.
Khanza mendorong tubuh lelaki itu sehingga cekalan tangan Arjuna terlepas dari pergelangan tangannya. Memerah dan membekas, Arjuna sialan!
“Lo, tuh, egois tau, Jun! Lo emang enggak peduli sama tanggapan orang-orang tentang kita, tapi gue, gue peduli! Lo selalu mentingin diri sendiri, bersembunyi di balik kata sahabat buat hubungan enggak jelas kita!” teriak gadis itu.
Khanza marah, ia emosi sekarang ini. Dia memang menyukai Arjuna, tetapi tidak pernah menyukai sikap lelaki itu yang cepat naik pitam. “Gue tanya sekali lagi, hubungan kita ini apa!? Cuma sahabat, 'kan?! Hak lo apa ngelarang gue!? Orang tua gue bahkan enggak mempermasalahkan gue pergi sama siapa, tapi lo yang cuma orang asing udah kayak gini.”
Orang asing? Hati Arjuna terasa sakit mendengarnya. Itu pertama kalinya, dan ia ... tak suka.
“Dengan sikap lo yang enggak dewasa gini, malah bikin gue ragu buat menjalin hubungan sama lo kelak nanti.” Itu memang benar, dengan sikap Arjuna yang menurut Khanza tidak dewasa dan kekanak-kanakan membuat rasa kepercayaan gadis itu sedikit menghilang.
Arjuna tertegun mendengar ucapan gadis itu, apalagi ketika melihat buliran bening yang mulai berjatuhan dari pelupuk mata Khanza. Hatinya terasa sakit mendengar penuturan Khanza, seperti di tusuk ribuan jarum tajam. Hatinya juga terasa sakit kala menyadari bahwa gadis yang kini berjongkok seraya menangis itu telah mengeluarkan air mata karenanya. Apakah ia keterlaluan sampai-sampai Khanza menangis?
Lelaki itu berjongkok di hadapan Khanza, memeluk gadis itu dengan erat. Khanza tak menolak, ia masih saja menangis. “Gue ... gue minta maaf, Za. Gue udah kasar sama lo, tolong maafin gue.”
“Gue keterlaluan, ya? Gue bener-bener kelepasan tadi, gue enggak sadar, Za. Jangan nangis, gue minta maaf,” ucap lelaki itu yang ia angguki pelan oleh Khanza. Gadis itu masih menangis, enggan menyudahi aktivitas menangisnya. Hatinya sakit, tetapi ia tidak bisa marah terlalu lama pada Arjuna, apalagi sampai menjauhi lelaki itu.
Katakanlah Khanza munafik, karena meskipun sudah di sakiti berkali-kali, gadis itu masih saja mampu memaafkan Arjuna setelah sikapnya yang berlebihan. Dia terlanjur menyukai Arjuna dan tahu bahwa ini bukan pilihan yang tepat. Tetapi Khanza tetaplah Khanza, ia akan tetap menyukai lelaki itu meskipun tak menyukai sikap Arjuna yag berlebihan.
Entah sampai kapan Khanza akan seperti ini, mungkin sampai gadis itu benar-benar menemukan lelaki tulus yang menyayanginya.
••••
Sesuai janji, chapter ini full Arjuna sama Khanza ya!
Next chap bakalan ada momen karakter pembantu kita, alias Haidar sama Viona.
Eh, tapi menurut kalian visual mereka cocok enggak sih buat jadi couple? Komen and vote, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Mistake ★
FanfictionDari ribuan kesalahan yang pernah Artha lakukan, ada satu kesalahan yang tak pernah ia sesali melakukannya. Pertemuan tak terduga nya dengan sang Sekretaris Osis, Khanzasa Vienna Audya. Pertemuan yang melibatkan perasaan pribadi antara keduanya.