★ 06 : Bimbingan

12 5 0
                                    

VOTE PLEASE!!

••••

Satu hal yang tidak pernah Khanza sangka dalam hidupnya adalah menjadi partner olimpiade seorang Arthayasa Damian Adhitama.

Setelah kejadian memalukan beberapa hari yang lalu, Khanza benar-benar enggan untuk kembali bertemu dengan lelaki bermarga Adhitama itu. Namun, takdir seakan berkata lain. Buktinya, kemarin kedua remaja itu kembali di pertemukan tanpa sengaja. Dan sekarang, Khanza harus berhadapan lagi dengan wajah tengil Artha.

Meskipun cukup kesal dengan kejadian beberapa waktu lalu, tak bisa dipungkiri, Khanza juga merasa bersalah pada lelaki itu. Kalimat-kalimat yang ia lontarkan pada Artha sangat kasar—baginya—dan pastinya menyakiti hati lelaki itu.

Tetapi, yang namanya Khanza tetaplah Khanza, gadis yang memiliki gengsi setinggi langit. Mau se-merasa bersalah apapun dirinya, tetap saja kata gengsi akan selalu terselip. Tak jarang, rasa gengsi mengendalikan diri Khanza.

Tetapi sekarang, gadis itu benar-benar berniat untuk memaafkan Artha dan meminta maaf atas ucapannya tempo hari. Syukurlah ia dan Artha berada di ruangan yang sama sekarang, hanya berdua. Keduanya hari ini mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan olimpiade nanti. Meskipun waktunya masih sangat lama, tetapi sekolah itu benar-benar sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari.

Khanza melirik arloji kecil yang melingkar di tangannya, jarum jam sudah berada di angka empat, namun Artha dan guru yang membimbing mereka belum juga tiba. Padahal, bel pulang telah berbunyi sejak dua puluh menit yang lalu.

Merasa bosan, Khanza lantas mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas nya. Gadis itu membuka bungkusan benda tersebut yang berwarna putih, lalu menyumpal kedua lubang telinganya dengan earphone. Setidaknya masih ada lagu yang siap menghiburnya.

Setelah menyetel lagu yang di pilihnya, ia lantas menatap ke luar jendela seraya menopang dagunya. Masih ada beberapa murid-murid yang terlihat. Khanza yakin, mereka pasti murid yang mengikuti ekstrakulikuler atau organisasi, termasuk osis. Bedanya, osis melakukan kegiatan mereka di dalam ruangan, sementara organisasi atau ekstrakulikuler yang lain melaksanakan kegiatan mereka di luar ruangan.

Khanza menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya tengah berkelana sekarang, merekam kembali memori kala dirinya dan Artha menghabiskan waktu bersama. Lagi-lagi, pertanyaan terus bermunculan di benaknya, membuat gadis itu merasa terusik.

“Kenapa dia bohong, ya?” monolognya tanpa sadar.

“Dia siapa?”

Khanza terkejut kala suara seseorang menusuk indra pendengarannya. Gadis itu menoleh, dan lagi-lagi terkejut ketika melihat wajah Artha yang begitu dekat dengannya.

Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya kearah lain. Malu sekaligus salah tingkah. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja wajah seorang lelaki muncul di hadapannya, dengan posisi yang sangat dekat.

Artha yang melihatnya lantas tertawa renyah seraya menjauhkan wajahnya. Dari raut Khanza, lelaki itu sudah cukup menyimpulkan bahwa gadis yang berada di sampingnya itu salah tingkah. Astaga, sangat lucu baginya!

Khanza tersenyum kikuk, lalu kembali menoleh kearah Artha.

Lelaki itu menghentikan tawanya, dan menyodorkan sebuah kotak susu kearah Khanza. “Buat lo.”

Khanza menatap kotak susu itu cukup lama, lalu membuka suara. “Gue alergi susu stroberi,” ucapnya yang di hadiahi raut terkejut dari wajah Artha.

“Serius? Sorry, gue engga tau. Soalnya kebanyakan cewek, tuh, suka susu stroberi atau vanila,” jelasnya.

Lelaki itu lantas mengambil kembali kotak susu yang berada di atas meja Khanza, dan menukarnya dengan susu rasa vanila.

“Lo enggak alergi vanila, 'kan?” Khanza menggeleng pelan, lantas mengukir senyum kikuk.

“Makasih.” Gadis itu membuka kotak susu yang baru saja di berikan Artha, lalu meneguk minuman itu hingga tersisa setengah. Jujur saja, ia merasa sedikit haus memang.

Artha tersenyum melihat hal itu. Ia lantas beralih menatap kotak berukuran kecil di tangannya, setelahnya menaruh benda itu keatas meja tanpa menyentuhnya sedikitpun.

“Gue minta maaf,” katanya, lagi.

Khanza diam, tak tau harus berekasi apa. Tetapi, bukankah tadi gadis itu sudah bertekad akan melawan rasa gengsi dan ego nya sendiri?

“Iya, gue maafin, kok. Gue juga minta maaf, udah ngomong kasar sama lo dan Haidar,” balasnya.

“Gue terlalu kekanak-kanakan kemarin, makanya kayak gitu. Gue harap lo mau maafin gue.”

Artha mengulas senyum tipis. Ia tidak berhak marah kepada gadis di hadapannya. “Enggak masalah, lo punya hak, kok, buat marah. Gue juga tau hal itu, apalagi lo perempuan. Bunda gue selalu bilang, enggak ada cewek yang mau harga dirinya di pandang rendah. Dan gue maklum sama hal itu. Derajat dan harga diri perempuan itu harus di jaga dan di hargai.”

Khanza sedikit takjub dengan jawaban Artha sebenarnya. Pemikiran lelaki itu sangat dewasa dan luas padahal umurnya baru menginjak enam belas tahun, di tambah lagi lelaki itu penyabar—baginya. Ia akui, orangtua Artha mendidik lelaki itu dengan sangat baik. Mengajarkan lelaki itu cara menjaga dan menghargai perempuan. Khanza selalu takjub dengan lelaki seperti itu.

“Lo enggak minum?” Gadis itu membuka suara setelah hening beberapa saat.

Artha terdiam lantas melirik kotak susu di hadapannya. Lelaki itu meneguk ludahnya sendiri, lalu tersenyum dan mengambil kotak itu.

“Minum, kok,” katanya seraya membuka kotak susu tersebut.

Dengan ragu, Artha meminum minuman itu. Bau stroberi menusuk indra penciumannya, apalagi kala cairan berwarna pink keputihan itu membasahi tenggorokannya.

Setelahnya, lelaki itu meletakan kembali kotak susu berwarna pink tersebut keatas meja.

Tak berselang lama, seorang wanita dengan pakaian khas guru datang memasuki ruang kelas. Artha lantas beranjak dari sebelah Khanza, dan berpindah ke tempat yang berada di samping bangku gadis itu.

••••

Haii! Apa kabar?

Jangan lupa votment kalian, ya! Tysm:3

Best Mistake ★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang