01. Live

133 21 0
                                    

Miriel's POV

"Sial!"

Kutukan yang seharusnya kuucapkan tanpa suara justru terlontar lantang. Para biarawati junior maupun senior di sekitarku menoleh dalam sekejap. Tatapan mereka yang menusuk itu seolah bertanya-tanya siapa gerangan yang melontarkan kata kasar itu di zona yang seharusnya ramah anak dan keluarga.

Otomatis tanganku bergerak menutup mulut.

Ah, Miriel. Kamu idiot sekali.

Bagaimana bisa aku ceroboh setelah sekian lama aku tinggal bersama para biarawan-biarawati? Benar, ini pertanyaan yang patut dipertanyakan. Bisa-bisa para biarawati yang mendengarku meragukan pengaruh buruk yang bisa saja tersebar pada anak-anak yang belum mengerti.

Tidak sengaja aku berkontak mata dengan salah satu biarawati. Tentu ia segera memalingkan wajah.

Aku menggigit bibir frustasi. Seharusnya aku mengingat posisiku. Aku tidak boleh lengah begitu saja.

Dengan berat hati, aku kembali memungut pakaian yang tadinya telah kering malah terjatuh ke tanah berpasir.

Belajar bersyukur, Miriel. Nasib baik pakaianmu tidak jatuh ke genangan air.

Tidak apa-apa. Aku sudah belajar bersyukur sejak di usia paling dini. Kalau bukan karena kerendahan hati para biarawati dan imam gereja, aku yang ditinggalkan sejak bayi di depan pintu panti asuhan dapat tinggal di dengan nyaman dan berkecukupan. Aku tidak perlu khawatir tentang biaya hidup, makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan lainnya.

"Miriel, apa itu kamu yang barusan?"

Suster Freya, seorang biarawati senior yang mengawasi keseluruhan kegiatan di panti asuhan, menghampiriku dari belakang.

"I-Iya, Suster Freya. Maaf, aku tidak bermaksud sengaja." sesalku penuh harapan beliau akan memaafkanku.

"Tidak apa, Miriel. Kamu masih remaja. Suster malah heran kalau kamu tidak belajar mengekspresikan perasaan negatifmu. Berkata kasar juga salah satu ungkapan perasaan bukan?" ujar Suster Freya. Kerutan di sekitar mulutnya semakin jelas ketika ia tersenyum.

Aku hanya bisa terdiam, menganggukkan kepala. Tidak tahu harus membalas apa.

Suster Freya menemukanku ketika aku masih bayi. Aku selalu berhutang nyawa dan budi pada beliau karena beliau dengan sukarela mengambil peran sebagai ibu bagiku, membesarkan dan mengajariku banyak hal, bahkan sampai di usiaku yang kelima belas ini.

Kami sama-sama terdiam untuk sesaat. Aku mencuri pandang ke arah Suster Freya, hanya untuk menemukan tatapan yang sulit diartikan. Kedua alisnya tertaut, kekhawatiran terpancar dari sorotan matanya, namun kedua sudut senyumnya melengkung ke atas.

"Ada apa, Suster? Kenapa kau menatapku seperti itu?" ujarku tidak bisa menahan rasa penasaran.

"Apakah kau sudah merasa lebih baik? Apa yang terjadi denganmu tadi?" tanya Suster Freya yang justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan di benakku.

"Maksud Suster, waktu aku mengutuk? Aku baik-baik saja, aku hanya kesal jemuran bersihku jatuh ke tanah."

"Tidak, Miriel. Maksud Suster, apa yang terjadi denganmu di danau? Suster melihat kamu berjalan ke gereja dari arah hutan danau. Kamu juga tidak merespon sama sekali saat suster-suster lain menghampiri dan bertanya padamu. Suster kira kamu..." ujar Suster Freya dengan nada yang sangat khawatir.

Aku ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa aku tidak mengerti apa yang Suster Freya katakan. Aku tidak mengingat aku mampir ke danau sepulang sekolah. Aku yakin aku langsung pulang ke gereja begitu bel pulang sekolah berbunyi.

The Greatest Escape [ON GOING] - TWW 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang