07. Can't Stand Still

30 10 0
                                    

TRIGGER WARNING‼️
THIS CHAPTER CONTAINS SWEAR WORDS & DEPICTION OF ABUSE.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ Kebijakan pembaca diharapkan ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*


Miriel's POV

Aku menelan ludah.

Lorong panjang dan gelap ada di hadapan kami begitu keluar dari rubanah. Fritz dan Hyan berjaga di sisi kanan. Ada tangga naik di sebelah kiri. Entah kemana tangga ini membawaku.

Anak tangga demi anak tangga kulangkahi. Hanya obor api yang terpasang di dinding berbatu yang menjadi penerangan kami. Aku menoleh ke belakang. Bergidik ngeri begitu melihat hanya ada kegelapan di bawah sana. Aku tahu Fritz, Hyan, dan rubanah itu masih ada di bawah sana, tapi tetap saja tidak menghentikan merinding menyelimuti tubuhku.

Aku menarik nafas, memantapkan diri untuk mengumpulkan segala informasi yang dapat berguna dalam perancangan rencanaku. Kakiku yang pendek ini berusaha mengimbangi kecepatan berjalan makhluk berbulu yang di luar dugaan tak sabaran.

Aku mungkin merasa sedikit lega sebelumnya. Namun begitu Groz membuka pintu kayu yang mengeluarkan suara berderit, kakiku seolah terpaku di lantai batu ini.

Pria ini gila.

Seorang pria berjubah hitam mencekik anak lelaki dengan rantai bersinar ungu. Anak lelaki itu panik. Tangannya berusaha melepaskan jeratan rantai di lehernya. Ia merintih kesakitan, saluran pernafasannya ditutup paksa.

Ada sekelompok anak yang menangis di salah satu sudut ruangan. Takut akan menjadi target berikutnya. Mereka meringkuk, menutup mata dan telinga, tidak berani melihat pemandangan mengerikan yang mungkin akan terjadi pada mereka juga. Satu dua di antara mereka sama terpakunya di tempat, menyaksikan adegan tragis dengan mata terbuka lebar.

Groz hanya diam. Tapi diamnya berbeda dengan diamnya kami. Ia diam karena tidak berani menyela tuannya.

Topi jubah yang dipakai pria itu menutup sebagian wajahnya, tapi aku bisa melihatnya tersenyum. Bajingan ini senang menyiksa anak-anak. Dia mendapat kesenangan melihat ekspresi anak-anak yang menderita karena perbuatannya. Pria itu tertawa melihat lelaki itu hampir kehilangan kesadarannya.

Kaki dan tanganku bergetar hebat. Aku hampir tidak bisa berpikir lurus.

Aku takut.

Aku takut.

Aku takut.

Tapi aku harus menghentikan pria itu.

"Ayolah, aku tahu kau lebih kuat daripada ini. Kau tidak mungkin pingsan sekarang kan?"

Cukup.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari mendahului Groz, berhenti tepat di sebelah pria berjubah itu. Groz tidak sempat menghentikanku.

"Hentikan!"

Pria itu segera menoleh, melihatku menantangnya satu lawan satu. Sejenak air mukanya kesal, dalam sekejap berubah. Ia tersenyum. Senyumannya semakin lebar, seolah-olah senang mainannya bertambah banyak. Berkat intervensiku, dia melepaskan jeratannya pada lelaki itu, menjatuhkannya dari udara. Anak lelaki itu batuk-batuk. Pasokan udara kembali dihirupnya perlahan.

Aku harap Lysia dan Damon merasa bersalah menyaksikan kenyataan yang dialami anak-anak tak bersalah ini. Aku harap rasa bersalah itu menggerogoti hati nurani mereka luar dalam. Aku tidak bisa merasakan apapun selain amarah sekarang. Memang seharusnya bukan posisiku untuk mengerti situasi orang lain di saat situasiku pun sama menyedihkannya. Tapi siapa yang tidak merasa frustasi ketika sama sekali tidak berdaya di hadapan kejahatan?

The Greatest Escape [ON GOING] - TWW 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang