17. Unspoken

74 9 0
                                    


Lessa masuk ke kamar dan tanpa sadar membanting pintu dengan keras. Tubuhnya meluruh dibalik pintu dengan nafas yang terengah karna berlari menuju lantai 2 dimana kamarnya berada. Tangannya terangkat menyentuh bibirnya yang- entahlah, Lessa malu untuk menyebutnya. Bodohnya ia malah menikmati Riki menikmati bibirnya tanpa ada perlawanan. Bukankah harusnya Lessa mendorong Riki dan memberikan tamparan keras di pipi saudara tiri nya itu.

Entah setan apa yang merasuki mereka berdua, bahkan jika toples cookies itu tidak tersenggol lengannya, entah apa yang akan terjadi.

Tok tok tok

"Lessa. Kita perlu bicara."

Jantungnya terasa terpompa dengan cepat saat mendengar suara Riki berada persis di balik pimtunya. Mengunci pintu dengan segera, gadis itu beranjak ke tempat tidur dan menenggelamkan tubuh kecilnya dibalik selimut. Memasang haedphone ditelinga, ia memilih abai dengan Riki yang terus mengetuk kamarnya.

Sedangkan Riki dibalik pintu berulang kali berdecak kesal saat Lessa tak kunjung membuka pintu.

Entah kenapa Riki bisa sampai kelepasan seperti tadi berakhir membuat Lessa marah padanya. Melampiaskan emosi dalam dirinya, Riki memukul keras dinding kamar Lessa dan setelahnya beranjak dari sana. Mungkin saat ini bukam saat yang tepat untuk minta maaf dengan gadis itu.

Mungkin ia harus memberi Lessa waktu untuk apa yang terjadi barusan.

***

Pukul 6 sore hari, Lessa terbangun setelah beberapa jam ia tertidur sejak pukul 2 siang. Gadis itu tengah mengumpulkan nyawanya setelah 4 jam tertidur dengan pikiran tak tenang. Pikirannya malah kembali pada kejadian dimana ia dan Riki didapur tadi.

Menoleh pada daun pintu, Lessa menghela nafas pelan sembari tangannya memijit kecil kepalanya karna pusing. Ya wajar, karna sudah hampir 4 jam ia tertidur. Beranjak ke kamar mandi, lebih baik sekarang dirinya membersihkan tubuhnya yang terasa berat.

Tidak sampai 20 menit, gadis itu sudah kembali ke kasur untuk menyelesaikan tugas nya yang harus dikumpulkan besok. Tangannya menggapai gawai yang berada diatas nakas guna menghubungi Echa. Begitu membuka ponsel, dirinya sedikit terkejut melihat bom chat dan spam panggilang dari Echa. Tak menunggu lama, gadis itu akhirnya menghubungi kekasih Samudra itu.

Beberapa saat menunggu, panggilan akhirnya tersambung.

"Ada apa ngespam gue banyak banget?"

"Mau nanya tugas. Sama nanya keadaan lo aja sih, udah sekarat apa belom. Heheh"

"Hm, nanti kalau gue koit, request ditaburnya pake daun seledri ya."

"Siap, ntar sama daun bawang sekalian."

Mereka tertwa kecil sembari mengumpat satu sama lain.

"Cha, sibuk gak?"

"Kenapa bestai? Kangen gue ya?"

"Ngimpi lu buaya betina."

"Wah asyu tenan."

Lessa terkekeh kecil mendengar sahabatnya itu malah misuh-misuh.

"Kesini dong."

Echa tak langsung menjawab, ada jeda sesaat dan terdengar suara bising dari seberang sana.

"Woe Cha!"

"Otw."

Lessa mengangguk paham meski Echa mungkin tidak melihat.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Lessa lebih nyaman berteman dengan Echa. Anaknya chill dan tanggap. Saking tanggap nya bahkan gadis itu tau kalau Lessa sedang dalam bahaya. Berujung dirinya ikut terseret dalam masalah Lessa dan Arthur dulunya.

Annoying step brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang