Bagian 14

47 3 0
                                    

Seena menatap pintu kediaman Wijaya itu. Tangan lentiknya terulur untuk mengetuk benda berwarna putih itu. Entah karena efek belum makan atau apa, gadis itu lebih memilih mengetuk pintu daripada menekan bell yang ada di samping pintu itu.

Tak lama seorang wanita paruh baya membuka pintu itu. Seena tersenyum ramah padanya.

"Cari siapa, ya?" tanya-nya dengan sopan.

"Om Wijaya-nya ada, Bi?"

"Ada, Non. Kebetulan masih sarapan, ayo masuk dulu."

Seena mulai memsuki rumah bertingkat dua itu, tampak mewah dengan berbagai interior mahal yang memenuhi tempat itu.

Ia mendudukkan dirinya pada sofa yang ada di ruang tamu milik keluarga Wijaya itu. Netranya kini fokus pada figura yang terpajang disana.

Keluarga bahagia, namun sayangnya ia tak melihat foto Aluna disana. Jika di pikir-pikir, kehidupannya dan Aluna hampir serupa.

Suara gema dari sepatu pantofel membuat Seena mengalihkan pandangannya pada pria paruh baya dengan setelan jasnya. Pria yang di ketahui adalah Ayah dari Aluna itu tampak mengerutkan keningnya bingung.

"Kamu anaknya Senopati 'kan?" tanya pria itu yang kini sudah mendudukkan dirinya pada sofa tunggal tepat di samping tempat yang ia duduki.

"Gak penting saya anaknya siapa. Om, saya disini sebagai temannya Aluna, putri Om sendiri. Beb-"

"Oh, jadi kamu berteman dengan anak sialan itu? Kalau kamu kesini hanya untuk membahas dia, mending sekarang kamu pergi dari sini!" potong pria itu dengan tegas.

Walaupun sudah di usir, namun gadis itu tidak gentar. "Om, sekarang Aluna ada di rumah sakit. Saya tahu, setidak suka apapun om sama Aluna, tapi dia tetap putri om. Apa om lupa bagaimana dulu om selalu menggendong dia, menenangkan dia saat Aluna kecil menangis. Apa om juga lupa kalau darah om mengalir di dalam diri Aluna?" ucap Seena mencoba memberi pengertian.

"Dia bukan putri kandung saya. Dia anak haram, anak hasil perselingkuhan mantan istri saya dengan lelaki lain."

Seena sontak terdiam mendengar penuturan dari Ayah sahabatnya itu. Gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Apa om yakin?"

"Aluna pernah mengatakan, jika dia di benci oleh keluarganya karena dia memiliki wajah yang hampir serupa dengan Ibunya."

"Ya, itu juga salah satu alasannya" kata Wijaya dengan menyela omongan gadis itu.

"Tapi, setelah saya melihat wajah om. Saya teringat dengan wajah Aluna. Warna mata yang om punya, sama persis dengan milik Aluna." ungkap Seena membuat Wijaya terdiam seolah memikirkan perkataannya.

Jika di ingat-ingat lagi, netra milik Ibu Aluna adalah hitam legam, sedangkan dirinya memiliki warna bola matanya adalah Hazel.

Wijaya ingat, saat dirinya menggendong tubuh ringkih Aluna yang masih balita. Mata itu berwarna hazel, mata yang dulunya selalu menatapnya dengan polos.

Pria itu mencoba untuk tetap pada pendiriannya. Wijaya tak ingin luka masa lalunya kembali menyiksa dirinya.

"Tidak usah berbual, dan jangan ikut campur urusan keluarga saya. Saya cukup menghormati kamu, karena kamu anak dari Senopati"

"Tolong pergi dari sini, sebelum saya mengusir kamu secara tidak hormat." sambung pria itu, namun lagi-lagi Seena tak peduli. Demi kelancaran hidup sahabatnya, ia rela melakukan apapun.

"Om, saya emang gak tahu apa masalah keluarga kalian. Tapi dengan melihat sahabat saya terluka seperti ini, dan itu semua karena ulah kalian, saya gak bisa tinggal diam!" ucap gadis itu membuat Wijaya tertawa dengan keras.

JEJAK LUKA || Slow updateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang